Judul : Chatting
Penulis : Neneng Lestari
Seperti
biasa di pukul 22:00 WIB aku online menggunakan laptopku. Jam segitu aku tidak
memiliki kesibukan apa-apa. Semua tugasku sudah selesai aku kerjakan, baik itu
pekerjaan rumah atau kantor. Tergilik jari jemari ini mengetik ‘facebok’ pada
mesin pencaharian. Sebuah sosial media yang sudah begitu lama aku abaikan, hm−
kira-kira hampir setahun. Aku kini sibuk dengan tulisan-tulisan pendek yang berhasil
memangkas kebosananku saat malam kian larut. Tulisanku itu pun akan menjadi
penghuni manis di blog yang sudah aku olah selama 2 tahun terakhir.
Saat
aku mulai meng-scroll bagian beranda facebook, sebuah undangan chatting
melintas di beranda sebelah kanan.
Ku
abaikan.
Lagi-lagi
notif itu muncul. Sebuah emoticon smile dikirm.
Ku
abaikan lagi. Kali ini aku close
Notif
itu muncul lagi. Tapi bukan emoticon yang muncul tapi sebuah sapaan akrab.
“Hai!”
Aku
abaikan.
Bukan
bermaksud sombong, tapi aku malas meladeni chatting dengan orang tidak dikenal.
Buang-buang waktu.
“Dara,
apa kabar?”
Sapaannya
kali ini membangkitkan rasa ingin tahuku.
“Siapa
ini?” ENTER
“Liat
aja profil aku.” Balasnya. Lalu ditambah emoticon smile. Aku muak
Ku
lihat namanya yang tertera. Jona
“Malas.
Kalau gak mau kasih tau, yaudah. Gak penting pun.” Jawabku galak
“ih
sombong ya. Aku Jona lho Dar.”
“Jona
mana? Nama Jona pasaran. Banyak beredar.”
“Kamu
masih tetap lucu ya.”
“Lucu?
Kamu pikir aku pelawak.”
“Jadi
apa juga bukan namanya kalau bukan lucu? Imut?”
“Gak
usah nge-gombal malam-malam gini. Tinggal jawab ini Jona mana. Selesai.”
“Kalau
gitu aku gak mau kasih tau ah. Nanti kamu gak mau chatting lagi sama aku.”
Ah
malas aku ladeni jadinya. Sekali atau dua kali tidak dijawab, bukan urusanku
lagi.
Aku
melanjutkan melihat-lihat berita yang sempat aku lewatkan di facebook. Aku
terperanjat. Banyak sekali moment yang terlewat rupanya. Ada beberapa temanku
yang menikah, dan sempat mengirimkan undangan di Group dengan nama sekolah kami
dulu. Aku melihat-lihat berapa banyak yang comment dan ikut nimbrung walaupun
telat. Tanggal yang tertera sekitar 3 bulan yang lalu.
“Maaf.
Maaf aku baru balas.” Jawabku, “Aku ucapin selamat ya, maaf sekali aku gak bisa
hadir.”
Setelah
selesai aku menulis comment di undangan, aku melanjutkan melihat-lihat yang
lain. Ada yang sudah memiliki anak, ada yang sudah mampu beli rumah sendiri dan
ada yang share fotonya saat beribadah haji.
Segelintir
comment yang mengejek tapi sebenarnya bercanda memenuhi foto tersebut. Aku
hanya memberikan like, sebagai tanda kepedulianku.
“Dara!”
Pria bernama Jona itu menyapaku lagi
Aku
abaikan
“Comment
di group bisa, masa balas chatting gak bisa sich.”
Mataku
membaca ulang baris yang ia ketik barusan. Ku cek setting-an group. Group ini
tertutup hanya sebatas anggota siswa/i yang bersekolah di SMA Kartika.
“Sekali
lagi aku kasih kesempatan. Kamu Jona mana?”
“Jona.
Anak IPA-1. Kelas kita bersebelahan dulu.”
“Masa?
Aku gak kenal tu.”
“Ya
iya lah gak kenal. Kita gak pernah saling tegur.”
“O
ya? Jadi kamu kok ingat sama aku.”
“Aku
teman Rudi−“
Rudi?
Sebuah nama yang membawa aku kembali ke masa-masa SMA dulu.
“−Kalau
Rudi pasti kamu ingat.”
“Gak
kenal yang namanya Rudi dan jangan sebut-sebut nama dia.”
“Ternyata
benar ya, kabar kalau kamu putus sama dia pas kita lulus.”
“Gak
ngurus. Lagian buat apa kamu ngurus aku mau putus atau gak.”
“Ya
iya lah aku ngurus. Karena tiga tahun aku nunggu kamu putus sama dia.”
Oke.
Perbincangannya sudah agak membuat aku tidak nyaman. Tapi aku tetap lanjutkan
hihi
“Kenapa?
Kamu suka sama aku?”
Aku
tidak berharap balasan sebenarnya atas pertanyaanku ini. Hanya pertanyaan iseng
yang terlintas di kepalaku yang sedang buntu ide nulis ini.
“Iya.
Aku suka kamu.”
Wow
Gila
ni cowok pikirku saat itu. Karena untuk mengingat teman-teman Rudi aja aku gak
bisa. Jona sama sekali asing bagiku.
“Kita
gak saling kenal. Enak aja bilang suka.”
“Tapi
aku kenal kamu.”
“kamu
yang kenal aku, bukan aku.”
“They told me that
to make you fall in love, I had to make you laugh. But everytime you laugh, I’m
the one who fall ini love.”
“Idih,
bahasanya kayak udah sering ketemu aku aja.”
“Aku
sering ketemu kamu. Tiap hari malah.”
Jantungku
berdegup saat membaca sepenggal kalimat itu.
Aku
memutuskan untuk tidak membalas. Ada sedikit ketakutan dihatiku saat mengetahui
ada orang yang mengamati aku.
Karena
tidak ada balasan juga dariku, ia terus mengirimku emoticon hati. Menganggu
sekali. Norak malah menurutku.
Karena
jengkel aku logout dari facebook dan mematikan laptopku.
Aku
menarik nafas panjang dan minum kopi panas yang terhidang di depanku. Ku resap
kopi itu dan ku bayangkan kembali masa-masa SMA. Mencoba menjelajahi pikiranku
sendiri kepada seseorang bernama Jona. Kalau ia teman Rudi, tentu aku pasti
kenal , walaupun hanya wajahnya saja.
Jona
Jona
Jona
Keningku
makin berkerut memikirkannya.
Siapa
dia?
“Kamu
lagi apa sayang?” Sebuah lengan kekar memelukku dari belakang. Bibirnya yang
tipis mencium tengkukku dengan lembut.
“Gak
ada. Aku baru aja selesai facebook-an. Udah lama gak buka facebook banyak
banget yang terlewat.”
Laki-laki
di belakangku masih saja mencium tengkukku. Aku kegelian dan akhirnya ia
melepaskan pelukannya. Menarik kursi lain dan duduk di sebelahku.
“Kamu
bukan kangen sama Rudi kan?”
Aku
tersinggung, “Gila kamu. Mana mungkin aku kangen sama dia lagi.”
Laki-laki
yang dihadapanku, menyadari perubahan nada bicaraku. Ia mengusap lembut
punggung tanganku dan mencium keningku.
“Aku
bercanda.” Ia tertawa
“Gak
lucu. Kamu tau aku gak suka becandaan kayak gini.”
“Kalau
Jona gimana?” Tanyanya ..
“Lucu
sekali kamu menyebut nama itu. Karena baru aja ada cowok aneh yang chatting aku
dengan nama Jona.”
“They told me that
to make you fall in love, I had to make you laugh. But everytime you laugh, I’m
the one who fall ini love.”
“Kamu!?”
Aku tidak percaya saat ia mengulang kalimat itu.
“Kamu
itu ya Dara−“ ucapnya sambil menghela nafas pendek, “Jona Saputra. Kamu gak hapal nama panjang
aku?”
Tunggu
Tunggu
Aku
mencoba mencerna kalimat laki-lakit dihadapanku. Otaku sedang dipenuhi
kenangan-kenangan yang melayang-layang mencoba menyatu dan memberikan gambaran
padaku.
Ternyata
....
Aku
teriak histeris. Menjerit kesal karena merasa ditipu oleh laki-laki di
hadapanku.
“PUTRA!”
Aku menerjangnya dan memukulnya dengan bantal guling. Ia meminta ampun dengan
nafas tersengal, tapi aku tidak peduli.
“Kamu
jahat, ngerjain aku kayak gitu.”
“Siapa
suruh nama suami sendiri gak ingat.” Ia menjulurkan lidahnya, “Justru kamu
seharusnya yang jahat.”
Aku
ingat. Ingat sekali malah.
Bagaimana
mungkin aku melupakan laki-laki yang telah berani meminta restu dari Papa untuk
melamarku. Dan namanya dengan lantang ia ucapkan saat mengucapkan ijab kabul di
depan seluruh kerabatku.
Bagaimana
bisa aku lupa?
Aku
mengingatnya sebagai PUTRA bukan JONA
~*END*~
Hah ternyata jona adalah suamimu sendiri. Tapi aku termasuk orang yang suka menjadi pengagum rahasia seperti suamimu lho mbak. Tapu sayang setelah ketahuan kalau aku menjadi pengagum rahasianya, dia malah semakin menjauh dariku.
BalasHapussebenarnya dia bukan ingin menjauh, tapi dia ingin memastikan dulu perasaannya. Beda lho perasaan ketika dia masih mengenalmu sebagai pengagum rahasia dengan ketika dia tau identitas pengagum rahasianya
Hapus