Langsung ke konten utama

My Love Story: Last Kiss




I still remember the look on your face



Langit senja berubah kelam. Mengartikan air mataku sebagai hujan rintik yang ikut membasahi peraduan terakhir di hadapanku. Burung-burung ramai berterbangan menuju ke sangkar masing-masing. Terdengar riuh memang, tapi rasanya damai sekali disini. Kini aku sendiri. Menanti sesuatu yang selalu aku harapkan datang padaku. 

Pikiranku melayang jauh. Sejauh langit senja yang hampir menaungi seluruh tubuh bumi. Kembali ke masa dimana aku berusaha mengingat potongan terakhir kenangan antara aku dan dia. 

Kenangan terakhir kami yang seharusnya aku tutup rapat. Kenangan pahit yang menyedihkan. Tapi justru kenangan itulah yang menyeruak ke permukaan dan melambaikan serpihan-serpihan di kedua mataku. Seperti memaksa aku untuk menyaksikan tontonan yang tidak ingin aku tonton. 

Semilir angin melambaikan rambutku, membawa kembali potongan kenangan itu.

***
Lit through the darkness at 1:58

 “Eh, kamu ngapain sich Jo ngendap-ngendap disitu.”

Aku menarik gorden di kamarku dengan pelan-pelan agar orang tuaku tidak terbangun.

“Kangen sama kamu lah. Masa iya kangen sama kucing kamu yang galak itu.”

Jona, nama laki-laki itu, melangkah ke beranda kamarku dan masuk melalui jendela lalu duduk di kasur berukuran kecil milikku. Dia memang sering melakukan hal itu. Rumah kami jaraknya berdekatan. Dari jendela kamar, aku dapat melihat separuh isi kamarnya yang di tempeli poster-poster Band terkenal dari penjuru dunia.

Wajah tampannya bersinar tertimpa cahaya lampu jalanan di depan rumahku. Matanya yang berkilauan menandakan bahwa ia sedang bahagia saat itu.

Aku menutup kembali gorden dan jendela kamarku.

“Ngomong-ngomong tentang kucing, Kitty lagi tidur tu di keranjang.” Aku menunjuk ke arah kaki tempat tidur dimana kucing putih sedang tidur melingkar.

“Besok jadi kan? Aku udah booking tempat di restoran itu.”

“Kamu itu maksa banget sich Jo. Kita masih pelajar, masa ngerayain hari jadi aja musti di restoran. Pemborosan tau!”

“Sekali-kali gak pa-pa kali.”

“Terserah lah. Awas kamu ya kalau aku sampe gendut habis makan disana.”

Jona nyengir kuda. Wajahnya yang ke kanak-kanakan selalu saja membuatku tersenyum. Tidak pernah sekalipun aku bosan saat memandangnya. Rambutnya yang di potong cepak dan ada lesung pipi menghiasi pipinya yang gembul. Pernah suatu ketika aku merasa iri dengan senyumnya itu.

“Eh tapi aku jadi kepikiran. Emang boleh pelajar SMU kayak kita makan di restoran?”

“Tenang aja.” Ucapnya santai, melambaikan jemarinya yang lentik di depan hidungku, “Semuanya udah beres.” Ia terkekeh

Aku menyipitkan mata, curiga.

“Pasti yang punya restoran teman papa mu kan?”

“Er− iya sich.”

Sudah ku duga.

Mau dikata apa lagi. Kalau Jona sudah menyusun rencana, aku pastikan ia melibatkan semua bantuan yang ada di rumahnya. Untung aja Papanya tajir gila, terkenal pula di kalangan pengusaha, kalau gak? Habislah aku dengan rencana Jona.

“Kamu pulang gih. Gak enak kalau sampai ada yang tahu.”
Dia berpikir sejenak, mempertimbangkan ucapanku. Aku berharap dia segera pulang, aku betul-betul gak ngerasa nyaman kalau lama-lama dia di kamarku.

“Ya udah lah kalau kamu ngusir.” Dia berjalan gontai ke arah jendela.

“Iya aku ngusir. Jauh-jauh kamu dari hidup aku.” Candaku

“Beneran? Nanti kangen baru tau rasa.”

“Najis!”

“Dosa ngomong gitu sama calon suami.”

“Alah, masih calon aja pun.”

“Dasar cewe jutek.”

“Dasar cowo manja.”

Aku tertawa melihat Jona mengerucutkan bibirnya yang tipis. Dia tidak senang aku menyebutnya cowo manja. Walaupun kenyataannya dia benar-benar manja. Manja banget malah. Sampe-sampe satu rumah bisa dibikin nyesek plus galau gara-gara tingkah dia.

The word that you whispered

“Tapi aku serius kok, Dar.” Ucapnya saat ia sudah berada di balkon kamarku. Tanganku yang hendak menarik gorden berhenti sejenak melihat binar matanya.

Tidak ingin menanggapi serius ucapannya, aku balik menggodanya.

“Hah? Apanya yang serius? Serius manjanya?”

“Ish, bukanlah. Aku serius mau jadi suami kamu.”

“Iya. Iya aku tahu kamu serius.” Aku menanggapi dengan biasa saja. Mana mungkin anak cowok berusia 17 tahun kayak dia udah mikir jadi suami. Kakak laki-laki ku aja yang udah mau masuk kepala tiga aja masih nge-jones.

“Kamu itu ya, gak mau percaya sama apa yang aku bilang.” Jona murung. Aku membantunya turun dari balkon. Walaupun gak tinggi, kalau jatuh yah kayaknya masuk rumah sakit juga.

For just us to know

“Aku percaya kok sama kamu.” Akhirnya aku berkata saat ia sudah selamat menginjak tanah. Aku tersenyum dan ia balas dengan tawa lebarnya.

“Aku sayang sama kamu, Dara.” Ucap Jona akhirnya.

Aku hendak membalas ucapannya ketika tiba-tiba saja kilat membelah langit malam di susul suara petir yang menggelegar.

Aku kaget.

Aku menjerit tertahan. Ku tangkupkan tanganku di depan mulutku agar tidak berteriak. Ku perhatikan langit malam dengan seksama. Apa akan turun hujan malam ini?

Jona melambai-lambaikan tangannya dari bawah. Mencoba menarik perhatianku yang tercuri oleh awan mengerikan di atas kepalaku. Aku balas melambaikan tanganku, ketika bertepatan dengan kilat kedua menyusul membelah langit persis di belakang Jona. Ku perhatikan wajah pucatnya yang kaget melihat kilat itu. Ia lari dan menaiki tangga dan masuk ke kamarnya.

Firasatku jelek.

Lagi-lagi aku abaikan perasaan itu.

Aku tertawa melihat ketakutkannya. Dan dari seberang balkon kamar kami masing-masing Jona memegang ponselnya dan menunjukan kepadaku.

Aku kembali ke kamar dan mengambil ponselku.

You told me you loved me

“Dara,  aku cinta sama kamu.”

Pesan singkat yang tertulis.

Aku menjulurkan lidahku padanya. Jona belum sempat membalas ejekanku, karena tiba-tiba saja angin bertiup kencang. Aku berlari ke kamar dan menutup jendela. Gorden sengaja ku biarkan terbuka.

Aku merasa aman.

Selama aku masih masih bisa melihat Jona di seberang sana. Aku akan merasa aman.

Setidaknya untuk saat ini biarkan aku puas memandang dirinya yang sedang duduk dilantai sambil memandangi kamarku.

Melupakan firasat jelek yang sempat menyelinap dihatiku beberapa saat yang lalu.

***
I do recall now
The smell of the rain

Aku sudah selesai berpakaian ketika ku lihat mobil Limosin mewah di parkir depan rumahku.

Jona ...

Siapa lagi kalau bukan dia. Kali ini tindakannya berhasil menarik perhatian Mama dan Papa. Bahkan kakak laki-lakiku ikut mengelus body licin Limosin tersebut. Norak pikirku.

Walaupun norak, aku ikut tersenyum sendiri bila membayangkan sepasang anak SMU menaiki mobil tersebut dan makan malam di restoran mewah bintang lima. Akan aku catat momen ini.

Aku turun ke bawah dengan anggun. Gaun putih punya Mama aku kenakan di malam istimewa ini. Sesampainya di Limosin, seorang laki-laki paruh baya menyambutku dan membuka pintu untukku.

“Bukan Jona yang menyetir, paman?”

“Masa cowo kece gini musti jadi supir sich.” Jawab Jona cepat.

Ku tolehkan kepalaku ke arah suara itu. Ia terlihat makin tampan dengan tuxedo hitam dan dasi melingkar di lehernya.

“Bilang aja belum punya SIM.” Balasku sambil masuk ke dalam Limusin

“Ma, Pa, dara pergi ya.”

Mama dan Papa hanya mengangguk bingung. Aku rasa aku tau apa yang dipikirkan mereka saat ini. Karena aku pun sedang dalam kondisi menakjubkan. Ini kejadian paling gila, keren sekaligus tidak terlupakan.

“Kayaknya gak bakal aku lupa sampe aku mati nanti.” Ucapku tanpa pikir panjang sangking senangnya berada di dalam Limosin mewah ini.

“Dara!” Tergur Jona tajam, “Aku gak suka kamu ngomong gitu.”

Aku terperanjat untuk sejenak.

“Maaf.” Ucapku pelan. Emangnya mau apa lagi yang aku ucapkan. Kalau dia lagi serius gitu, aku gak berani ajak becanda. Takut ngerusak suasana juga sebenarnya.

Saat menuju restoran, hujan deras mengguyur kota.

“Aneh. Padahal semalam kilat dan petir, kenapa malam ini yang turun hujan!?” aku menempelkan telapak tanganku di kaca jendela Limosin dan memandang hujan yang mengalir jatuh di hadapanku.

Entah kenapa saja perasaan bahagia yang mengisi hatiku dari tadi pagi menguap seiring hujan yang menerpa. Dapat ku hirup aroma tanah yang tersiram kehidupan dari langit. Perasaanku jadi sendu sekali. Seakan rasanya aku sedang menangisi hal yang tidak aku ketahui.

“Kamu gak pa-pa?”

Jo ... Bisikku. Ku lihat dahinya yang berkerut, matanya yang menyipit menatapku tersirat kekhawatiran.

“Gak pa-pa kok.”

Aku membelai pipinya dengan lembut dan ia memejamkan matanya menikmati sentuhanku.

“Aku suka kamu sentuh kayak gitu.” Ucapnya manja.

Aku tertawa. Ku kecup pipinya kiri dan kanan.

“Eh, kita udah sampe ya?” Aku melihat sekeliling ketika Limosinnya berhenti.

Jona bertanya pada supirnya dan mengatakan kalau mereka terjebak kecelakaan di depan.

“Sabar. Restorannya kan gak akan lari.” Saat Jona mulai mengumpat-umpat kesal.

Saat terakhir yang ku ingat adalah bunyi berisik yang memekakan telinga dan cahaya lampu yang menyilaukan. Cahaya itu berjalan cepat ke arah kami dan ku rasakan hantaman keras di sekujur tubuhku.

Brak

Hantaman tidak berhenti sampai disitu. Ketika ada cahaya lain yang melaju dari arah belakang. Aku terhempas. Kedepan dan kebelakang. Kepalaku rasanya bergemuruh. Dapat kurasakan asinnya cairan yang mengalir ke dalam mulutku. Ku lihat Jona dalam posisi kepala di bawah dengan kaki terjepit antara tempat duduk.

Matanya terpejam

Apakah ia tidur?

Hujan mengalir makin deras. Teriakan-teriakan panik orang di jalanan menandakan bahwa aku masih bertahan. Lampu-lampu kota berkilauan bagai mutiara perawan. Indah sekali..

“Tolong!” tapi darah yang tersembur

Sekali lagi ku lihat Jona.

Matanya terpejam. Damai sekali rasanya. Ingin ku pangku kepala itu dan menidurkannya di pahaku. Ku yakinkan diriku sendiri kalau aku dan dia akan baik-baik saja

Aku yakin itu

***

Ku pandang lagi gundukan tanah merah di hadapanku. Sudah menjadi kebiasaanku untuk tetap disini menunggu kekasihku. Sama seperti 5 tahun lalu. Saat kejadian menggenaskan itu terjadi.

Aroma hujan ketika menyapa permukaan bumi bagaikan deja vu bagiku. Seandainya saja hujan tidak turun saat itu, mungkin truk besar itu tidak akan tergelincir dan kehilangan keseimbangannya di tengah hujan.

Siapa yang harus aku salahkan?

Hujan?

Ataukah takdir?

I do remember
The swing in your step

Aku menajamkan telingaku ketika ku dengar gemericik air hujan yang tergenang. Suara itu makin dekat dan makin dekat. Ku tolehkan kepalaku dan ku lihat sosok laki-laki yang selama ini aku nantikan.

Berbalut jas hujan dan sebucket bunga mawar di tangannya. Berdiri tegak memandang nisan yang ada di hadapannya. Ia membelai batu nisan itu dengan sayang. Aku rasa ia menangis. Aku tidak begitu yakin karena hujan mengaburkan segalanya. Tapi aku tahu ia sedang bersedih

Aku tahu wajah sedih itu. Wajah yang selama 8 tahun ini mendampingiku ketika aku masih hidup dan ketika aku mati.

Jona ...

Dia hidup dan aku mati di kecelakaan itu.

Just like our last kiss
Forever the name on my lips

“Aku kangen sama kamu, Dara!”

Dia berjongkok di atas gundukan tanah merah itu. Tidak peduli kalau tanah itu akan mengotori seluruh pakaiannya.

“Aku juga kangen sama kamu, Jo.” Ucapku sambil memegang bahunya. Aku tahu ia tidak dapat merasakan kehadiranku. Tapi aku ingin selalu berada di dekatnya ketika ia menemuiku.

“Aku Cuma mau bilang kalau Papa dan Mama udah menjodohkan aku dengan anak temannya. Kamu ingat cewe yang kita kerjai saat dia datang ke rumahku? Kamu sembunyikan kelinci kesayangannya sampai dia menangis. Akhirnya kamu gak tega ngeliatnya dan mengembalikan kelinci tersebut.”

Miris aku melihat laki-laki di hadapanku ini. Ia tersenyum tapi ia juga menangis. Bisa ku dengar isak tangisnya disela-sela ceritanya akan kenangan kami berdua. Sesak dalam dadaku rasanya sulit sekali buatku tersenyum.

“Tentu aku ingat, Jo. Aku sebenarnya cemburu sama cewe itu. Makanya aku nerima ajakan kamu buat ngerjain dia.”

“Aku gak bisa nolak. Kepergian kamu udah membuat aku menolak semua kehadiran cewe yang coba deketin aku. Gak ada yang bisa sama kayak kamu.”

Jona menangis tersedu. Kali ini ia tidak menyembunyikan air matanya. Bahkan di tengah hujan deras ini bisa ku lihat perbedaan antara air mata dan air hujan yang membasahi wajahnya.

Aku ikut berjongkok disampingnya. Membelai pipinya seperti dulu dan mengecup pipi gembul itu.

Jona tertegun. Menoleh ke kiri dan ke kanan. Setelah memastikan tidak ada siapa-siapa ia mengusap pipinya.

“Dara?” 
Just like our last kiss

Aku tersenyum. Saat ini ia menatap tepat ke mataku. Walaupun ia tidak bisa melihatku, tapi aku yakin ia bisa merasakan aku.

Sebutlah namaku, dan aku akan hadir untukmu walau hanya dalam mimpi 

And I hope the sun shines
And it’s beautiful day
And something reminds you
You wish you had stayed

~:END:~

Komentar

  1. Waah mengalir bangat ya kak ngarie cerpen nya.. (y)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Makasih :)

      Terima kasih juga udah berkunjung. Btw panggil aja neneng atau neng xixixi

      Hapus
  2. Keren, bagus ceritanya.. panjanga dan penuh makna yang tersembunyi.. Love it :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih fikri maulana :)

      Terima kasih juga udah berkunjung kesini. Sering2 mampir ya hehe

      Hapus

Posting Komentar

Tinggalkan kesanmu ketika berkunjung

Postingan populer dari blog ini

[SINOPSIS] Spring In London - Ilana Tan

Judul : Spring In London Pengarang : Ilana Tan Penerbit : Gramedia Pustaka Utama Jumlah Halaman : 238 halaman  Cetakan : kesepuluh Agustus 2011 Naomi menelan ludah dengan susah payah. Air mata mulai membayang dimatanya.  “Sekarang kau tidak akan bisa lagi memandang ku tanpa memikirkan apa yang pernah terjadi antara aku dan kakakmu.” “Tidak ... itu tidak benar.” “Dan aku tidak bisa memandangmu tanpa teringat pada kakakmu dan apa yang pernah dilakukannya padaku.” Kata-kata yang diucapkan dengan tajam dan jelas itu menghujam jantung Danny. Dadanya terasa sakit dan sekujur tubuhnya lumpuh. Ia menantap Naomi tanpa berkedip, tanpa bernapas. Ia membuka mulut, namun tidak ada suara yang keluar. Naomi Ishida adalah gadis keturunan Indonesia – Jepang, dan dia merupakan saudara kembar Keiko Ishida (baca Winter in Tokyo). Berbeda dengan Keiko, Naomi memilih karir sebagai seorang model dan menetap di London. Karirnya sebagai model sangat sukses sehingga setiap pemotret

[SINOPSIS] Detektif Conan 70

Dapat juga komik kesukaanku ini di toko buku, padahal jatah terbitnya itu tanggal 30 november kemarin, tapi di toko buku Banda Aceh baru adanya sekarang. Tapi peduli amat lah, amat aja gk begitu peduli, nah Lho ...!!?? Tapi whatever lah, yang pasti komik ini udah ada ditangan, jadi kenapa harus pusing (^0^). Dan seperti biasa aku juga mau ngeringkas sedikit isi komik  Detektif Conan 70, check it out >>>

Book Review: Damn! It's You - Pelangi Tri Saki

Semua Orang Punya Masalah, Tapi Tidak Semua Orang Mampu Menyelesaikannya Judul Buku: Damn! It’s You! Penulis: Pelangi Tri Saki Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama Cetakan ke-1: Januari 2017 Tebal: 232 halaman ISBN: 978-602-03-3661-9 Tidak dipungkiri, banyak sekali penulis-penulis muda yang terlahir dari akun kepenulisan, wattpad. Salah satunya adalah karya pertama Pelangi Tri Saki diterbitkan Gramedia dengan judul Damn! It’s You yang merupakan seri kedua ‘You’. Tulisan yang khas remaja dan banyak menyelipkan percakapan lucu khas anak-anak SMA membuat karyanya banyak dikenal. Setelah sukses dengan seri pertama Hey! You! Diharapkan novel kedua ini akan mengikuti jejak terdahulunya. Dengan mengambil kehidupan SMA, Saki mengajak pembaca untuk mengenal pasangan lucu yang kelakukannya berhasil mengocok perut pembaca. Nigi, seorang cewek yang terkesan tomboy dan cerewet tidak sengaja bertemu dengan Saba, cowok dengan muka datar tanpa ekspresi sama sekali. Diperpa