Tangan gadis itu mengelus lembut kartu pos bewarna
pink yang diselipkan dalam lokernya. Tersenyum bahagia mengisyaratkan bahwa
kata yang terangkai di lembaran itu sangat indah. Hingga senyumnya pun enggan
menghilang dari wajah kecilnya.
“Hei pendek!”
Gadis itu berjenggit mendengar sapaan itu, tapi tidak
sekarang. Tidak akan ada alasan dia untuk marah saat ini.
“Mendadak tuli sekarang rupanya si pendek.” Kali ini
si anak laki-laki itu duduk bersebelahan tepat di samping gadis itu. Kepalanya
ia dorong ke depan agar dapat melihat apa yang tengah di baca oleh gadis
tersebut.
“Hari gini masih zaman nulis kartu.” Ucapnya remeh
Gadis itu tidak bergeming. Tapi senyumnya surut.
“Randi ...” Ia membaca sebaris nama di akhir kartu pos
itu, “Anak kelas sebelah rupanya. Tampangnya pas-pasan, punya nyali juga
nyatain cinta sama cewek.”
Gadis itu tetap bertahan dengan sikap sabarnya,
bibirnya bergerak membaca untaian kata itu berulang-ulang. Sampai ia hapal isi
kalimat pendek itu di luar kepala. Sebenarnya itu adalah salah satu usaha agar
tidak terpancing oleh ucapan anak laki-laki tersebut.
“Sini gue baca ...” ia merebut kartu pos itu dan
berlari menghindar cengkraman gadis itu. Anak laki-laki itu berdiri di depan
kelas dan naik ke meja guru.
“Jona, kembalikan!” Bentak gadis itu.
“Ambil kalau loe bisa.” Ejeknya, “Opz maaf, maksud gue
ambil kalau loe sampe.” Dengan tarikan satu nafas ia mulai membacanya, “They told me that to make you fall in love
i had to make you laugh. But everytime you laugh I’m the one who falls in
love.”
Anak-anak lain yang tengah –sebagian besar−
sibuk menyontek pekerjaan rumah dari temannya, berpaling mendengar rangkaian
kalimat yang di ucapkan Jona. Sorak riuh ramai sekali mewarnai pagi itu.
“JONA!” Gadis itu berteriak.
“Siapa yang mau lihat si cewek jutek ini ketawa?” Jona
mengabaikan kemarahan gadis itu.
Anak-anak sekelas kali ini tertawa mendengar ucapan
Jona. Tidak ada kata sabar lagi di hati gadis itu.
“KAMU KETERLALUAN!”
Gadis itu berbalik dan berlari meninggalkan kelas.
Tawa teman-temannya bagai bayangan yang mengikutinya kepergiananya.
Tawa Jona memudar. Ia perlahan turun dari meja dan
menatap pintu kelas yang baru saja dilewati gadis itu. Kemaharan gadis itu
jelas sekali, sama jelasnya ketika Jona melihat setitik air mata menggenangi
matanya.
Gadis itu menangis.
***
Dara mengusap matanya perlahan. Mengambil lebih banyak
tissue toilet dan mengeluarkan ingus yang masih membandel bersarang di
hidungnya. Bunyi berisik saat Dara mengeluarkan ingusnya bergaung di toilet
tempat Dara bernaung sekarang. Duduk di pispot dan masih membuang tissue dengan
kejam ke dalam tong sampah.
Dara menarik nafasnya panjang, menghembuskan dengan
cepat. Membuka pintu toilet lalu becermin. Ia merapikan seragamnya dan memastikan bekas air matanya tidak meninggalkan
jejak di wajahnya. Seorang gadis cantik balik memandangnya. Rambut hitam yang
di kucir kuda, serta sepasang manik hitam cemerlang yang kini sembab oleh air
mata.
Dengan perasaan yang masih kacau dan sesak menghimpit
paru-parunya, Dara keluar dari toilet yang dikhususkan bagi siswi perempuan dan
menatap seseorang tengah menunggunya di ujung lorong.
Randi. Anak laki-laki yang mengiriminya kartu pos.
“Aku ngeliat apa yang dilakukan temanmu itu.” Ucapnya.
Matanya menatap Dara dengan serius. “Aku minta maaf kalau udah menjadi penyebab
kamu seperti ini.”
Dara terdiam.
Selama ini ia tidak pernah menyukai anak laki-laki
secara khusus, tapi melihat perawakan Randi yang sederhana, serta sikap
tenangnya, dan betapa ia berani berdiri
di hadapannya dan meminta maaf atas kesalahan yang tidak ia buat. Saat itu juga
Dara meyakini bahwa sepercik cinta telah bersemayam di hatinya.
Randi tidak setampan Jona, tidak setinggi Jona, dan
bahkan sepengetahuan Dara, Randi bisa sekolah disini karena beasiswa. Tapi
entah kenapa Jona selalu saja mengusik anak laki-laki di hadapannya ini.
Menganggap remeh segala sesuatu yang dilakukan Randi.
“Aku suka dengan kartu pos yang kamu kirimkan ...”
Dara tersenyum, “Dan akan lebih aku sukai kalau Kamu mau menuliskannya setiap
hari untukku.”
Randi tidak butuh jawaban “Iya” atau “Tidak” karena
pernyataan gadis manis di hadapannya sudah menjadi penentu hubungan mereka ke
depannya.
“Jam istirahat nanti, aku traktir makan bakso ....”
Randi terdiam, “Itupun kalau kamu tidak keberatan.”
“Bakso?”
Randi sudah siap menerima jawaban penolakan, karena ia
harus jujur kemampuannya hanyalah sebatas dua mangkuk bakso.
“Aku suka sekali bakso.” Ucap Dara.
***
“Eh bro!” Tepukan Ijal −sahabat karib Jona− di bahunya
menyadarkan Jona dari lamunannya, “Kalau loe emang naksir sama Dara, bilang
dong. Hobi banget sih loe bikin dia nangis.”
“Gak usah ganggue gue, malas dengar bacot loe.”
“Ih sensi banget sih loe. Kayak cewek datang rembulan
aja.”
Jona menepis tangan sahabatnya yang merangkul bahunya.
Sambil mengamati kartu pos yang sudah lecek di tangan Jona.
“Apa bagusnya Randi? Udah miskin, kampungan lagi,
tampang pas-pasan, gantengan juga gue.”
Ayu, gadis manis yang memakai hijab panjang menutupi
setengah tubuhnya berhenti di depan Jona. Walaupun begitu sifatnya jauh dari
kalem, ia lebih pantas di sebut cerewet.
“Dengarkan nasihat dari cewek yang paling bijaksana di
kelas ini ...” ucapnya narsis, senyum tiga jari menghiasi wajahnya yang
oriental, “Cewek tidak butuh cowok tampan buat berada disisi dia, yang penting
kedewasaan dan bagaimana rasa aman yang tercipta ketika berdekatan dengannya.
Nah kamu pernah tidak sekali saja menunjukan kepada Dara kedewasaan kamu,
kebijaksaaan kamu atau rasa ingin melindungi?”
Jona memandang hampa pada cewek di hadapannya.
“Tidak perlu kamu jawab, aku tahu jawabannya. Tidak
pernah.”
“Udah lah Yu, loe bikin Jona tambah bete aja. Bukan
kasih nasihat yang bener, eh malah bikin galau.” Usir Ijal.
“Terserah kalian para cowok. Susah dinasehati yang
baik. By the way, Randi itu tidak seburuk
yang kamu pikirkan. Ia punya kharisma untuk anak seusianya. Anak-anak cewek
kelas IPS pada naksir sama dia.”
“Udah sana loe ... bikin bete aja!” Usir Ijal makin
keras. Sang gadis pun menjulurkan lidahnya kepada Ijal, tidak terima diusir
dengan cara seperti itu.
Jona menutup kedua wajahnya dengan tangan.
Membayangkan selama tiga tahun sekelas dengan Dara tidak sekalipun ia melakukan
seperti yang Ayu sebutkan. Ia lebih sering menganggunya hinga menangis dan
bahkan mencela setiap tindakannya, walaupun sebenarnya ia tidak berniat seperti
itu.
“Loe gak nangis kan Jo?”
“Gila loe. Emang gue itu elo, di putisin Bella nangis
kejer tujuh hari tujuh malam.”
“Anjrit loe Jo!” Ia menepuk kepala Jona.
Mata Jona menangkap bayangan yang berjalan di samping
jendela. Ia melihat Dara sedang berjalan bersisian dengan Randi.
“Jangan-jangan si Randi udah nembak Dara?” Bisik Ijal.
Jona melihat Randi membisikan sesuatu di telinga Dara,
dan hal itu membuat gadis itu tertawa lepas. Giginya yang putih berkilauan
tertimpa matahari pagi.
Dara melambaikan tangannya ketika Randi kembali ke
kelas.
“Ih gayanya kayak mau pergi jauh aja.” Usil Ijal
Dara masuk ke kelas dan sempat melemparkan pandangan
benci pada Jona. Lalu ia duduk di kursi miliknya yang jaraknya hanya dua meja
dari Jona.
Ijal hendak berkomentar lagi, tapi bibirnya ia
katupkan saat melihat kartu pos di tangan Jona sudah ia remas hingga hancur
tidak berbentuk.
***
Kedekatan Randi dan Dara kian hari makin mambuat Jona
memanas. Sudah berulang kali ia mempermalukan Randi di depan kelas dengan
menyebutnya anak kampung. Pernah sekali Dara adu mulut dengan Jona, demi
membela harga diri Randi. Dan itu sampai melibatkan guru BP untuk mendamaikan
Jona dan Dara.
“Udahlah Dar, kamu tidak perlu ribut dengan Jona
seperti itu. Semua yang ia katakan memang benar.”
“Dia tidak berhak mengatakan semua hal buruk tentang
kamu.” Dara meninggikan suaranya.
“Bukan hal buruk, Cuma kenyataan yang harus aku
terima.” Koreksi Randi.
“Mulai sekarang, aku tidak mau mendengar kamu membela Jona. Aku ingin dia pergi dari
kehidupan aku.”
Randi memandang Dara. Gadis itu yang sedang menyantap
makan siangnya tidak menyadari tatapan Randi. Saat itu Randi pun melihat Jona
beserta kawan-kawannya masuk kantin dengan gaya angkuh. Ia melihat anak
laki-laki itu melemparkan pandangan sengit padanya. Pandangan memusuhi.
Ia tahu dan paham alasan kenapa Jona melakukan ini
semua.
Ia menyukai Dara.
***
Sebulan sebelum kelulusan mereka, Randi menemui Jona
di rumahnya. Penolakan mentah-mentah kedatangan saingannya tidak menyurutkan
tekad Randi yang telah ia pikirkan masak-masak.
“Mau apa loe kesini? Pamer akademis loe lebih tinggi daripada
gue?”
“Aku ingin mengajukan permintaan padamu.”
“Loe pikir gue Tuhan, seenak jidat loe minta-minta ke
gue.” Jona hampir saja menutup pintu rumahnya ketika daun pintu ditahan oleh
Randi.
“Aku serius. Tolong dengarkan dulu.” Ucapnya tegas,
membuat Jona membeku di depan pintu
***
“Ran, udah lama sekali kamu tidak pernah menulis kartu
pos untukku?”
Randi tersenyum, “Memangnya kamu selalu simpan kartu
pos pemberianku?”
“Kok balik nanya sih. Tentu saja selalu aku simpan,
malah aku simpan dalam kotak kecil pemberian kamu itu.”
“Aku sebenarnya sedang mempersiapkan diri untuk pergi
jauh, dan tidak sempat menulisnya.”
Dara terhenyak, “Kamu mau kemana?”
Randi mengeluarkan amplop putih dari saku jaketnya. Ia
memberikan amplop itu pada Dara agar gadis itu yang membacanya.
Raut wajahnya bahagia dan bangga, tapi berubah sedih
setelah selesai membacanya.
“Kenapa harus Jepang, Ran? Disini banyak kok tempat
kuliah yang bagus.”
Randi membelai sayang kepala Dara.
“Aku pikir kamu akan senang, karena ini adalah impian
aku.”
“Aku senang sekaligus bangga, Cuma kenapa Jepang?
Gimana kalau aku kangen sama kamu?”
“Akan aku kirimkan kartu pos setiap hari.” Janji Randi
“Janji ya?”
“Janji!”
***
Sesuai janji Randi, setiap hari Dara selalu menerima
kartu pos dalam kotak suratnya. Tidak terasa sudah setahun semenjak percakapan
terakhir mereka. Dara jadi merindukan laki-laki yang selama ini hanya
berkomunikasi lewat surat.
Lucu memang, disaat teknologi makin canggih Randi-Dara
memilih menulis surat.
“Biar ada kenangan dan bukti kemesraan kita.” Ucap
Randi suatu hari.
Setiap kali rindu pada Randi, ia akan membongkar kotak
pemberian Randi dan membacanya berulang-ulang. Melihat tulisan tangan Randi
saja sudah mampu menjadi obat kerinduan baginya.
Hingga suatu siang, ketika Dara pulang dari kampus
lebih cepat dari biasanya ia menemukan Jona tengah menyelipkan sesuatu di kotak
surat.
“Apa yang kamu lakukan disini?”
Bagaikan maling ketangkap basah, Jona mencoba mencari
celah agar bisa kabur dari hadapan Dara secepatnya.
Dari ekor matanya, Dara melihat apa yang diselipkan
oleh Jona. Ia membungkuk dan mengambilnya. Kenyataan yang terpampang di
hadapannya lebih mengejutkan daripada kehadiran Jona di depan rumahnya.
Menyakitkan.
“Gue bisa jelasin ini semua.”
“Kamu memang selalu menjadi cowok brengsek Jo. Kamu
apakan kartu pos pemberian Randi? Mau kamu ambil dan kamu buang diam-diam, biar
aku dan Randi salah paham dan putus?”
“Dengerin gue dulu.”
“Tidak perlu!” Jerit Dara, “Berapa banyak kartu pos
yang sudah kamu ambil tadi?”
“Gue gak ngambil apa-apa.”
“Jangan bohong!” Dara melangkah maju dan mulai
memeriksa paksa pakaian Jona.
“Stop Dara!”
“Aku tidak akan berhenti sampai kamu mengaku.”
“Dara STOP!” Kali ini Jona yang berteriak, “Randi udah
mati. Setengah tahun yang lalu.”
“BOHONG!” Jerit Dara, “Kamu bohong Jo. Kamu memang
tidak pernah suka sama Randi, dan kamu mau bohongi aku?”
Jona menghempaskan tubuh kecil Dara darinya, dan ia
mengeluarkan sebuntelan kartu pos warna-warni yang di letakan di telapak tangan
Dara.
Dara memeriksanya satu demi persatu. Tulisan tangan
Randi yang rapi menghiasi seluruh kartu pos itu, anehnya setiap tanggal yang
tertera adalah tanggal dari hari ini sampai beberapa bulan selanjutnya.
“Apa maksudnya ini?” Suara Dara bergetar. Ia tahu,
bukti di tangannya menunjukan apa yang diucapkan Jona adalah benar.
***
“Kalau mau
ngomong, cepet! Gue sibuk.” Jona sama sekali tidak mempersilahkan Randi duduk
di kamarnya, hingga Randi hanya berdiri tegak di tengah kamar Jona.
Randi menarik
nafas panjang, “Aku terkena leukimia, dan vonis dokter hidupku hanya bertahan
beberapa bulan.”
Jona
terperanjat sebenarnya, Cuma ia sembunyikan, “Trus maksud loe, mau minta maaf
ke gue sebelum loe mati?”
“Salah
satunya itu. Aku memang ingin minta maaf kalau aku menyebabkan kerenggangan
antara kamu dan Dara. Tapi permintaan utamaku adalah, tolong jaga dia bila
suatu saat nanti aku ... bila suatu saat nanti aku tidak mampu menghadapi
penyakit ini.”
“Melankolis
banget sih loe. Bilang aja pengen cari perhatian.”
Randi
mengeluarkan amplop dengan lambang rumah sakit di pojok kanan atas. Menyerahkannya
ke Jona.
Jona
mengambilnya lalu membaca baris per baris kalimat yang tertulis.
“Loe serius?”
Jona melipat surat itu, Randi mengangguk.
“Ini ....”
Randi menyerahkan sebuntelan kartu pos warna-warni ke tangan Jona, “Aku ingin
kamu mengirimkan ini ke Dara setiap harinya. Di Kartu Pos yang terakhir telah
aku jelaskan semuanya. Aku harap kamu bisa menopang Dara bila ia terjatuh
nanti.”
***
Jona mondar-mandir di depan rumah Dara. Setelah
kejadian tempo hari, Jona belum siap melihat air mata gadis itu.
Aneh.
Biasanya ia akan puas melihat Dara menangis
tersedu-sedu karena ulahnya, tapi entah kenapa ia kini merasa hatinya menjadi
perih setiap kali mengingatnya. Ia mengeluarkan amplop bewarna merah muda dan
menyelipkannya ke kotak surat.
Ia baru saja memulai menggantikan peran Randi di hati
Dara. Tetapi bukan sebagai bayang-bayang Randi, kini ia akan berperan sebagai
pengagum rahasia yang menunggu hati sang kekasih terobati. Menunggu saat yang
tepat sampai ia berani muncul di hadapan Dara dan mengatakannya langsung isi
hatinya.
Jatuh cinta diam-diam seperti ini bukan setahun dia
rasakan.
Sebenarnya ia yang lebih pantas menyandang kata
pengecut, karena tiga empat tahun hanya berani memendam perasaan kepada Dara.
Jona merapakan jaket ke tubuhnya. Menghalau dingin
menembus kulitnya yang putih. Meninggalkan bayang rumah Dara dan kembali pada
kehangatan rumahnya sendiri.
And
if you don’t like me as I do you, I understand
by
JS
***
END
Wew..nyesek yah
BalasHapusHehe lumayannlah cha ....
HapusTapi gak sampe nangis kan bacanya? Hehe