Bekerja dari rumah bukan cita-citaku dari kecil. Aku
memimpikan menjadi wanita karir, duduk di depan komputer dan menyisihkan
sebagian pendapatan yang aku peroleh untuk membawa kedua orangtuaku ke tanah
suci, Mekkah. Tapi disinilah aku. Bekerja dari rumah di tengah-tengah tumpukan
kain flanel mengerjakan souvenir pernikahan yang telah di order oleh salah
seorang pelangganku.
Alasan aku tidak menjadi wanita karir adalah ketika aku(baru)
lulus kuliah, aku langsung menikah. Mulanya aku bingung menentukan menikah atau
tidak, karena menikah berarti aku menghilangkan kesempatan untuk menjadi wanita
karir kantoran, di sisi lain menikah adalah caraku mendapat pahala lebih
banyak. Sehingga akhirnya aku putuskan menikah di usia 23 tahun.
Dugaanku benar. Ketika aku memutuskan menikah, seolah-olah
lowongan pekerjaan yang aku ikuti pun tertutup rapat. Nilai akademisku bagus,
aku juga aktif organisasi ketika kuliah, tapi tidak satupun perusahaan yang mau
menerima aku. Jangankan untuk diterima, panggilan interview pun tidak pernah
aku dapatkan.
Dan kehidupan makin sulit. Harga-harga barang melambung
tinggi, membuat urat leherku tercekik. Aku tetap berusaha mencari pekerjaan,
melempar lamaran sana-sini, tapi hasilnya nihil. Hingga saat ini tidak satupun
panggilan aku dapatkan.
Setahun yang lalu, tepatnya tahun 2014, aku berkenalan dengan
flanel. Aku iseng mengintip aplikasi pintersest di smartphone sahabatku, dan
aku tertarik dengan souvenir cantik yang berbahan flanel. Aku menjelajah
internet mencari tahu tentang flanel dan mulai mempraktekannya sendiri.
Hasilnya bagus dan memuaskan. Aku tawarkan ke media sosial
dan ada orang yang siap menampung hasil karyaku. Mulai dari situ pesanan
mengalir, dan aku mulai kewalahan mengatasinya. Aku bahagia karena bisa bekerja
di rumah dan menghasilkan uang, setidaknya untuk uang make up aku tidak perlu menadahkan tangan di hadapan suami. Selain
itu aku lebih punya banyak waktu bersama anakku yang baru berusia 7 bulan.
Memberinya asi ekslusif dan bermain bersamanya disela-sela menjahit kain
flanel.
Tidak selalu aku rasakan enak bekerja di rumah. Justru lebih
sulit dari yang aku bayangkan, karena otomatis pikiranku harus terbagi untuk
beberapa jenis pekerjaan. Pertama, mengurus suami tentunya. Kedua mengurus si
kecil, itu pun kalau dia tidak tidur, aku tidak bisa melanjutkan pekerjaan yang
lain. Ketiga, membereskan pekerjaan rumah seperti masak, mencuci, dan
menyentrika. Keempat, jahitan orderan flanel.
Kalau di bilang enak kerja dari rumah, aku setuju banget.
Karena waktu kebersamaan anak itu tidak akan pernah bisa diputar kembali.
Apalagi anak lagi masa-masa ingin nempel sama ibunya, moment seperti ini mahal
sekali. Aku yang punya hobi membaca pun bisa melanjutkan hobiku itu di
sela-sela waktu istirahat. Biasanya aku membaca buku sekitar satu jam sampai
akhirnya tertidur. Atau mengisi blog dengan cerita-ceritaku.
Tapi kalau sudah bicara tidak enaknya, aku bisa merinci setiap
hal yang membuat aku lelah memikirkannya. Seperti yang telah aku jelaskan di
atas, flanel adalah sumber penghasilanku saat ini. Seharusnya aku bisa
meluangkan banyak waktu untuk mengejar batas deadline yang diberikan konsumen.
Aku memprioritaskan flanel di urutan keempat. Dan itu membuat aku tidak punya
cukup waktu untuk menyelesaikannya. Dan aku sampai begadang demi mengerjakan
orderan.
Pernah suatu ketika yang bikin aku sedih. Ada pelanggan yang
minta dibuatkan souvenir untuk acara ulang tahun anaknya. Peraturan yang aku
buat jelas sekali, permintaan mendadak tidak akan dilayani, tapi karena
konsumennya maksa-maksa terus, akhirnya aku mengalah. Dan dalam tempo 2 minggu
aku harus selesaikan 4 lusin souvenir.
Sebenarnya jumlah itu masih sedikit, apabila aku fokus
mengerjakaannya, yang artinya, pekerjaan lain aku abaikan. Tapi status ibu
rumah tangga membuat pekerjaan itu terasa berat. Akhirnya dengan memaksa tubuh
sendiri untuk bekerja extra aku bisa menyelesaikannya. Saat aku menghubungi
konsumen tersebut, dia membatalkannya secara sepihak.
Itu salah satu pengalaman tidak menyenangkan ketika bekerja
dari rumah. Mulai dari hari itu aku menerapkan dengan tegas tidak melayani
orderan mendadak dan wajib DP 50% agar kejadian menyakitkan di atas tidak terjadi
lagi. Konsekuensinya, pelangganku komplain. Tapi ada yang tetap bertahan hingga
kini.
Dalam situasi seperti ini, saya melihat buku Sukses Bekerja
Dari Rumah yang ditulis oleh Brilyantini muncul di timeline twitter saya.
Iseng
cari tahu dengan membaca review buku tersebut. Berharap saya bisa berkesampatan
membeli buku tersebut. Saya suka dengan kutipan ini:
“Bekerja dari rumah itu juga ternyata perlu usaha
tersendiri. Mungkin dua atau tiga kali lebih keras dibandingkan saat bekerja
kantoran. –Halaman X.
Aku rasa itu benar sekali. Karena
bayangin aja, kalau dirumah bukan satu atau pekerjaan yang harus ditangani,
tapi empat sekaligus dengan bergiliran. Aku membayangkan lalu geli sendiri saat
timbul rasa malas buat menulis supaya blog tidak kosong, punggung pegal itu
yang bikin rasanya malas sekali.Sungguh berat sekali. Sangat berat ...
Tapi semua itu terbayar ketika
aku bisa melihat senyum bayi kecil dalam gendonganku. Memeluk aku dan tidur
dalam pangkuanku. Melihat dia merangkak untuk pertama kali., melihat ia duduk
untuk pertama kali, rewel karena demam, kena pipisnya saat ganti popok, atau di
cakar si kecil ketika dia gemas melihat aku. Sampai sekarang, aku sudah punya
beberapa bekas halus akibat cakar si kecil.
Apa bisa aku merasakan itu semua
kalau aku bekerja kantoran? Aku rasa, beratnya bekerja di rumah terbayarkan
oleh itu semua.
***
bekerja di rumah ternyata memang tdk semudah bekerja di luar rumah, tp sebanding dg kebahagiaan yg diperoleh. semoga sukses mba bisnis dan lombanya
BalasHapusHai mba Lathifah Iffah ^^
BalasHapusterima kasih sudah mampir di tulisan saya ini hehe, semoga bermanfaat ya ...
dan terima kasih juga dukungannya