Diikutkan untuk Ramadhan Giveaway dengan tema [FRIENDZONE]
***
“Randi!”
Pekik seorang
gadis yang duduk di hadapannya. Rupanya untuk menambah efek kaget, gadis itu
menggebrak meja dengan tangannya. Laki-laki yang bernama Randi itu kaget, kehilangan
keseimbangan hingga dagunya yang daritadi ia tumpang dengan tangannya jatuh
mengenai sudut meja.
“Lo dengar gak
sih gue ngomong apa barusan?”
Mampus gue,
pikir Randi. Saking terpesonanya ia dengan sahabatnya itu hingga ia lupa untuk
menyimak perkataannya. Entahlah, tapi Randi menikmatinya saja. Wajah cantik
gadis itu tetap sama, meskipun ia sedang marah atau tidak.
“Denger kok,
Saras!” Randi mengelak, tapi ia tidak berani menatap gadis itu.
“Lihat mata gue.
Lo pikir bisa bohong dari gue.” Omelnya sadis.
Randi tidak
punya pilihan selain menatap manik abu-abu itu. Mata itu kini menyipit mencari
kebenaran di mata sahabatnya.
“Lo bohong.
Daritadi lo melamun dan biarin gue ngoceh kayak burung beo.”
“Kok dia bisa
tahu?” Randi bergumam.
“Ya jelas gue
tahu─” Randi terperanjat,”─kita udah temenan hampir genap 5 tahun. dan lo berharap gue
gak tahu lo sedang bohong apa gak? Dan hobi lo yang bergumam dengan suara keras
juga udah gak bisa lo ilangin. Selalu jadi senjata ampuh buat gue desak lo.”
Randi mendesah. Kena omel di
tambah tatapan dingin sedingin es itu seperti ketiban sial berlipat-lipat.
“Iya gue salah. Lo ngomong apa
emangnya?”
Giliran Saras menarik nafas panjang. Harus punya kesabaran
ekstra menghadapi Randi. Masalah yang ia hadapai lebih besar daripada memergoki
Randi sebenarnya tidak mendengarkannya.
Randi adalah sahabat baik Saras.
Dari SMA mereka sudah menjalin persahabatan yang erat hingga kini mereka duduk
di bangku kuliah dan jurusan yang sama. Saras tidak pernah segan untuk
menceritakan semua masalahnya kepada Randi, bahkan ia juga tidak malu
mengungkapkan betapa sayangnya ia kepada Randi dengan caranya sendiri. Randi
salah menangkap hal tersebut sebagai cinta. Ketika ia hendak mengatakan
perasaannya, ia harus di rundung kecewa karena Saras sudah memiliki kekasih.
Randi ingin belajar melupakan
perasaannya dan menganggap Saras seperti sahabat baiknya dulu. Tapi semua
seolah tidak ada yang berubah semenjak pernyataan cinta itu. Saras bukannya makin menjauh darinya,
malah makin mendekat seolah-olah ia tidak ingin Randi berpaling darinya.
Membuat perasaan Randi makin hancur.
“Jona. Gue ngomongin sikap Jona
yang berubah ke gue.”
Pantesan saja Randi melamun.
Kalau omongan gadis itu sudah membicarakan kekasihnya, otomatis telinga Randi
tertutup rapat bagaikan sayap kelelawar yang bergantungan saat tidur.
“Kenapa lagi lo dengan Jona?
Perasaan, lo mesra-mesra aja sama dia kemarin malam.” Jawab Randi malas.
“Gue gak suka dia terlalu dekat
dengan Dara.”
“Maksud lo cewek mungil yang
cantik itu?”
Saras
mengernyit.
“Jadi maksud lo,
gue gak cantik?”
“Lo kok jadi
sensitif amat sih. Biasanya juga Jona selalu bareng Dara.”
“Tapi ini beda.
Gue gak suka. Insting wanita gue merasakan ada perasaan di antara mereka
berdua.”
“Loh, emangnya
kita gak?”
Saras menatap
tajam. Dahinya yang ditutupi poni tidak bisa menghalangi pandangan Randi
melihat lipatan-lipatan disana.
“Gue sayang sama
lo─”
“Gue lebih
sayang sama lo.” Randi memotong.
“─tapi lo harus paham. Gue
sama Jona udah tahap serius.”
“Lo pikir, gue
enggak?”
“Gue butuh lo
sebagai sahabat. Kalau sebagai pacar, gue udah dapatin semua dari Jona.”
Randi menyeruput
teh manis dinginnya. Jona. Jona dan Jona. Sudah tidak terkira nama itu diulang
oleh Saras. Andaikata nama itu adalah uang, maka Randi sudah bisa membeli
pesawat pribadi.
“Jadi lo maunya
gimana?”
“Gue pengen lo
cari tahu hubungan Jona dan Dara.”
“Dunia juga tahu
kali Ras, mereka itu sahabat dari kecil. Lo sama gue aja gak bisa nyamain
pertemanan mereka.”
“Gue gak peduli.
Lo cari tahu tentang mereka berdua.”
Randi mengambil
tas ranselnya dan meletakan uang di atas meja. Ia sudah hendak pergi ketika
sesuatu menahan bajunya.
Ternyata Saras
menarik ujung kemeja Randi, “Lo mau kemana?”
“Mencoba
menjalankan permintaan lo.” Ketus Randi.
Mata Saras
berbinar. Dan perasaan sejuk menyentuh hati terdalam Randi. Hanya Randi yang
bisa membuat binar mata itu di mata Saras. Sekalipun Jona tidak akan pernah
bisa melakukannya.
“Gue tau. Lo
sahabat gue tersayang.”
Dan lo adalah sahabat yang gue cintai,
pikir Randi miris. Meninggalkan Saras yang kini semangat menghabiskan mie
kocoknya.
***
Beberapa hari
ini Randi tidak memberi kabar apapun kepada Saras. Gadis itu merindukannya.
Beberapa kali mencoba mengirim pesan, tapi tidak kunjung mendapat balasan.
Mencoba menelponnya pun percuma. Selalu saja tersambung dengan voice mail.
“Apa gue samperin
aja ke rumahnya?” Bisik Saras pada diri sendiri. Setelah menimang beberapa
menit, akhrinya Saras meminta izin pada Bundanya dan mengendari mobilnya ke
rumah Randi.
“Itu anak kadang
suka bikin kangen.”
“Apa dia ngambek
kali ya? Gue emang keterlaluan kemaren nyuruhnya?”
Belum berapa
lama Saras memacu mobilnya, dering ponselnya membuyarkan lamunannya tentang
Randi. Nama Jona tertera pada display ponselnya.
“Halo jo? Gue
lagi di jalan, mau ─ehm”
Saras mendadak bingung mencari alasan yang tepat, “─gue mau ke toko buku... lo mau ketemuan? Boleh boleh, gue
juga belum makan siang.... kalau gitu biar gue jemput lo. Nanggung udah di
jalan.... see you...”
Saras melupakan Randi. Di
persimpangan lampu merah, ia memutar haluan mobilnya.
***
“Makan siang dimana?”
Saras bertanya pada Jona yang sedang berada di balik kemudi.
Dari sisi Saras,
Jona terlihat tampan. Dengan kulit putih bersih dan rambut yang kadang
berantakan serta suaranya yang lembut membuat Saras tidak bisa menggantikan
Jona dengan siapapun. Bila ia tersenyum ada lesung pipit di kedua pipinya
hingga membuat ia terlihat selalu tersenyum. Giginya yang putih terawat
menebarkan aroma mint menyegarkan saat berdekatan dengan Saras.
“Tapi kita makan
siangnya gak sendiri ya.” Manik coklat muda Jona memandang Saras.
“Jadi?”
“Sebenarnya Dara
baru jadian. Dan dia mau ngenalin cowok barunya.”
Bagaikan musim
panas yang disirami hujan, hati Saras yang selalu panas mendengar nama Dara
mendadak sejuk sekali. Celah-celah retakan di hatinya mampu direkatkan kembali
oleh kabar bahagia itu.
“Lo serius?”
Saras tidak bisa menyembunyikan kegembiraannya. Bahkan agak terlalu bergembira.
Jona hanya
tersenyum miris. Matanya yang hangat menatap lurus kedepan tanpa sekalipun
melihat Saras. Entah hanya perasaan Saras, tapi ia sempat melihat mata Jona
berkaca-kaca.
Apa artinya itu? Pikir Saras.
Jona memasuki
basement dan memarkir mobilnya. Mengandeng telapak tangan dingin Saras dalam
rengkuhan telapak tangannya yang besar dan menaiki eskalator ke lantai dua.
Tempat makan
janjian mereka adalah sebuah mini cafe yang di desain minimalis. Tempat ini
banyak digunakan anak-anak remaja dan mahasiswa sebagai tempat pertemuan atau
hanya sekedar menghabiskan waktu. Dan di tempat ini tidak akan ditemukan orang
dewasa. Salah satu keunikan cafe ini. Tidak ada yang tau alasannya. Mungkin
saja orang-orang dewasa terlalu segan memasuki cafe yang mayoritasnya adalah
anak-anak remaja belia.
Jona dapat
mengenali punggung Dara dalam sekali pandangan. Dia dan kekasihnya duduk
bersebelahan dan membelakangi Jona serta Saras.
“Nyampe juga lo
Jo.” Suara gadis itu lembut, tapi ada ketegasan dalam suaranya.
Dara
memperhatikan Saras dan mempersilahkan mereka duduk. Detik selanjutnya, betapa
kagetnya Saras ketika melihat siapa kekasih Dara.
“Randi!?”
“Hai.”
Cengirannya yang khas tanpa dosa membayang di kedua matanya, “Kaget kan lo?
Udah gue duga. Rencana gue berhasil.”
Dara tertawa
pelan. Jona yang lebih pintar menyembunyikan emosinya hanya mengatakan bahwa ia
kaget.
Saras senang
Dara mempunyai pacar, dengan begitu ia tidak perlu khawatir Jona menjalin
hubungan “teman” yang tidak wajar di mata Saras. Tapi mengetahui kalau
Randi-lah yang menjadi kekasihnya, membuat perasaan Saras makin campur aduk.
“Sejak kapan lo
jadian?” Saras tidak bisa menyembunyikan nada ketusnya.
“Eh lo kok
marah?” Randi tergelak tertawa.
“Ya jelaslah gue
marah. Gue.. gue─”
Saras gagap, “gue kan teman lo. Masa tega lo nyembunyikan hal kayak gini dari
gue.”
“Nanti aja
ngobrolnya. Gue udah lapar. Boleh pesan sekarangkan?” suara Jona menghentikan
kalimat Saras yang siap ia tembakan ke Randi.
Semuanya setuju
dengan ucapan Jona. Makan siang sudah hampir lewat, hingga mereka menghabiskan
makan siang dalam diam. Sibuk dengan pikiran masing-masing.
***
Malamnya, Saras meminta Randi untuk datang ke rumah. Ia
ingin menuntut penjelasan. Tapi jawaban dari Randi mengagetkan Saras. Laki-laki
itu menolak datang, biasanya ia akan langsung datang apabila Saras meminta.
Harga diri Saras
menolak untuk menghampiri Randi. Tapi ia butuh jawaban. Jawaban untuk semua
ini, sebelum ia bisa gila dengan spekulasi yang menumpuk di kepalanya.
Akhirnya Saras
memutuskan ia harus menemui Randi.
“Gue butuh
penjelasan lo sekarang!” Saras berdiri di teras rumah Randi. Randi yang kaget
kedatangan Saras langsung menuntunnya untuk duduk.
“Gue bukan mau
duduk. Gue minta penjelasan!”
Randi menarik
nafas panjang. Mencoba menyusun kalimat yang tepat untuk menjelaskan ini semua.
“Seharusnya lo
senang kalau Dara udah punya pacar.”
“Tapi kenapa
harus lo yang jadi pacarnya?” Nada Saras tidak berkurang sedikitpun dari
pertama kali ia datang.
“Karena gue suka
sama dia.”
“Tapi lo gak
cinta kan sama dia?”
“Cinta bisa
datang sendiri kalau kami berdua mau menjalani hubungan yang normal ini.”
“Maksud lo
normal apaan?”
“Dugaan lo
benar. Dara cinta sama Jona, tapi Jona udah terlanjur cinta sama lo.”
“Ya wajarlah.
Gue lebih segalanya dari cewek itu.”
“Lo benar. Lo
emang lebih segalanya. Tapi justru itulah yang membuat Dara tersiksa. Dan
selama ini gak pernah ada yang ngerasain gimana sakitnya dia ketika melihat
Jona berduaan terus sama lo.”
“Trus? Lo bisa
gitu bahagiakan dia?” Saras tertawa.
“Setidaknya gue
bisa merasakan hal yang sama dia rasakan. Gue bisa bebas bertukar pikiran
dengan dia. Dan bila suatu hari gue udah siap, gue bebas mencintai dia tanpa
ada rasa bersalah. Seperti gue mencintai lo Ras.”
“Tapi gue gak
suka lo pacaran sama dia.” Saras histeris, “lo carikan aja dia cowok yang lain.
Kenapa harus lo?”
“Apa alasan lo
ngelarang gue?”
“Karena lo
sahabat gue satu-satunya, dan gue gak mau ngerasa kesepian.”
Randi tersenyum.
Menggelengkan kepalanya dan menatap Saras.
“Denger Ras. Lo
dan gue hanya sahabat. Lo yang selalu ingatin tentang status kita ini. Bahkan
ketika lo tahu perasaan gue yang sebenarnya tapi lo tetap jadian dengan Jona di
depan gue. Dan lo benar. Gue akan anggap lo sebagai sahabat.”
“Tapi Ran─”
“Udah malam. Lo
sebaiknya pulang.”
“─gue sayang sama lo.”
Randi berjalan
mendekati Saras. Memegangi bahu gadis itu dan menatap manik kelabunya yang
indah. Randi selalu suka mata itu. Mata itu bisa memantulkan kebahagian
siapapun yang memandangnya.
“Lo sayang sama
gue sebagai sahabat. Begitu juga sebaliknya. Dan terima kasih buat lo yang
selalu mengingatkan gue tentang status aneh kita ini. Aneh karena lo tahu gue
cinta sama lo, tapi lo anggap gue sebagai tukang ojek dan pembantu lo.”
“Tapi─”
“Lo sebaiknya
pulang.” Kali ini Randi lebih tegas.
Saras tahu. Itu keputusan
akhir Randi.
“Kalau gitu lo
jaga cewek lo jauh-jauh dari pacar gue.”
“Lo gak usah
khawatir.”
***
“Aneh ya!?”
seorang gadis mungil duduk bersila di lantai sambil menyeruput coklat panasnya.
Rupanya ia mendengar percakapan Saras dan Randi di teras rumah.
“Apa yang aneh?” Randi bertanya
“Entah kenapa perasaan gue lebih enteng semenjak sandiwara kita ini.”
“Gue rasa emang ini yang terbaik. Masa lo gak bosan di manfaatin terus sama Jona.”
Gadis itu tertawa kecil, “Sama. Lo juga. ’Aneh karena lo tahu gue cinta sama lo, tapi lo anggap gue sebagai tukang ojek dan pembantu lo’.” Dara mengulang kalimat Randi, “Lowongan pembantu di rumah gue terbuka lebar buat lo.” Lalu ia tertawa terbahak melihat ekspresi Randi yang tersinggung.
Melihat tawa Dara yang begitu ringan, membuat Randi menjadi sedikit sentimentil, “Kita sama-sama bodoh ya.”
“Kalau itu, lo aja deh yang bodoh. Gue ogah.” Dara membalas sengit.
“Mulai saat ini, kita lupakan sahabat-sahabat yang kita cintai itu, dan memulai pertemanan baru.”
“Nah kalau gue jatuh cinta sama lo gimana?”
“Gue janji, gue gak akan pernah memperlakukan lo kayak mereka lakukan ke kita.”
“Janji?”
“Janji.”
Randi dan Dara saling menautkan kelingking mereka. Mulai saat ini mereka resmi menjadi sahabat. Berharap suatu saat mereka bisa melupakan cinta yang sudah tidak bisa mereka miliki dan memulai kisah hidup yang baru.
Tapi kali ini berbeda.
Berbeda karena tidak ada satupun dari mereka yang berniat mempermainkan perasaan sahabatnya sendiri. Hingga status hubungan yang tidak jelas, tidak akan pernah terjalin lagi.
Tidak akan ada Friendzone lagi.
***
END
Komentar
Posting Komentar
Tinggalkan kesanmu ketika berkunjung