***
Saras menggenggam amplop putih di
kedua tangannya. Menanti-nanti bahagia kedatangan suaminya yang ia perkirakan
akan pulang sebentar lagi. Ia akan memberi kejutan kepada suaminya. Sengaja
tidak melalui telepon ataupun sms, ia ingin suaminya melihat langsung. Dan
membayangkan itu semua membuat Saras senyum-senyum sendiri.
Suara mobil terdengar di halaman
rumah. Dengan sigap Saras melompat dari sofa dan berjalan mendekati pintu.
Menyambut sang suami.
Jona, laki-laki muda yang tampan
itu tersenyum menenangkan pada istrinya. Tapi senyum itu adalah senyum
rutinitas yang ia lakukan selepas kerja, untuk menghargai sang istri yang rela
menantinya.
“Gimana harimu, Jo?” Saras
mengambil tas kerja suaminya dan melepaskan sepatunya.
Jona melonggarkan dasinya dan membuka
beberapa kancing kemejanya. Ia bersandar pada sofa dan menarik nafas lega.
Seperti bebannya tertampung oleh sofa bewarna putih bersih itu.
“Capek seperti biasa. Rupanya
Papa serius ingin menjadikan aku pemilik perusahaan.”
“Seharusnya kamu senangkan?”
“Aku lebih suka bekerja sesuai
apa yang aku inginkan.”
“Tapi aku rasa keputusan Papamu
benar, Jo.” Saras berhenti, ia memilih kata yang tepat untuk kalimat
selanjutnya, “Kamu sudah menikah, ada tanggung jawab yang harus kamu pikirkan.
Kalau kamu menuruti Papamu, kita akan hidup mapan dan bisa membina keluarga
lebih baik.”
Saras sudah siap-siap dengan
kejutan yang ia simpan daritadi.
Tapi tiba-tiba saja Jona berdiri
dan memandang istrinya yang sedang duduk.
“Kamu ingin kita yang hidup mapan,
atau kamu yang hidup mapan?”
Saras tersinggung. Ia tidak
menyangka jawaban Jona akan sesakit itu. Ia memang terlahir dari keluarga
berkecukupan dan anak tunggal pula. Jadi kebiasannya yang ingin hidup enak
memang tidak bisa selalu disalahkan, tapi ia berubah.
Berjanji pada dirinya sendiri ia
akan berubah. Kalau ia tidak berniat berubah, ia tidak akan mau tinggal di
rumah kontrakan yang luasnya tidak sampai setengah rumah Saras. Ia tidak akan
mau tinggal tanpa pembantu dan ia tidak akan menerima keputusan Jona ketika ia
benar-benar ingin hidup dari kerja kerasnya sendiri, bukan dari bantuan
ayahnya.
“Kalau kamu punya masalah,
bicarakan denganku.”
“Tidak usah. Wanita tidak akan
mengerti apa yang pria lakukan.” Jona mengambil tas dari lantai dan memasuki
kamar. Membantingnya pelan tapi meninggalkan kesan yang tidak nyaman di hati
Saras.
Saras hanya mampu memandangi
amplop putih yang daritadi ia sembunyikan di balik bajunya. Kini ia harus
menyembunyikan amplop itu lebih lama lagi.
Sampai kapan?
Ia pun tidak tahu.
***
Saras menikahi Jona ketika
laki-laki itu melamarnya. Tanpa ragu, Saras menerimanya. Jona mengajukan syarat
sebelum menikah. Ia ingin Saras mau hidup dengannya jauh dari campur tangan
orang tua, dan Saras menerimanya. Asalkan itu bersama Jona, tidak akan ada
masalah yang perlu ia khawatirkan.
Saras ternyata keliru. Jona
terlalu serius untuk hidup sendiri dan berusaha membangun keluarga ini dengan
kerja kerasnya sendiri. Ia memulai dengan menjadi pegawai di kantor papanya,
padahal ia sudah di tawarkan untuk menduduki jabatan tertinggi.
Sikap Jona yang dulu selalu Saras
sukai, entah kenapa menjadikan rasa cemas di hati Saras. Makin lama Jona makin
jarang tersenyum, dan makin jarang bicara padanya. Padahal dulu mereka selalu
berbagi cerita, suka dan duka. Sifat inilah yang membuat jarak di antara mereka
makin melebar. Setiap kalimat yang Saras ucapkan rasanya seakan menyindir
ketidakmampuan Jona, sebaliknya Jona yang salah merespon kalimat Saras akan
membalasnya dengan kalimat yang menyakitkan.
Saras bertahan.
Demi sesuatu yang bisa ia
harapkan dari pernikahan ini. Ia hanya butuh moment yang tepat, ketika Jona
akan mengetahui betapa pentingnya pernikahan ini bagi dirinya. Bagi calon bayi
yang tengah Saras kandung.
***
Hari-hari selanjutnya tidak
berubah menjadi lebih baik. Jona makin pulang larut malam dan pergi pagi
sebelum Saras terbangun. Entah apa yang ada di pikiran Jona saat itu. Saras
tidak mengerti. Hubungan pacaran mereka selama 5 tahun ternyata bukan jaminan
pasangan akan saling mengerti.
Sampai suatu hari Saras duduk
mematung di depan Jona yang tertidur pulas. Pagi ini ia harus bicara dengan
suaminya.
Jam weker yang Jona setel
berdering pelan di balik bantal Jona. Ternyata itu kenapa Jona bisa bangun
begitu pagi sebelum Saras terbangun. Jona yang mengerjapkan matanya kaget
melihat istrinya dalam gaun tidur putih duduk di kursi seakan menungguinya.
Tidak ingin menyulut keributan,
Jona melangkah ke kamar mandi dan melakukan ritual pagi hari. Ia keluar lagi
dan masih melihat Saras duduk diam di kursi. Tidak berubah sedikitpun. Membuat
ia merinding.
“Aku ingin bicara Jo.” Suara
Saras lembut.
“Bicara aja. Aku bakal dengar
dari sini.” Jona memilah baju kerja yang akan ia pakai.
“Aku bukan hanya ingin di dengar,
tapi aku ingin kita saling memahami.”
Seakan menghindar, Jona menjawab,
“Haruskah subuh-subuh seperti ini?”
“Iya. Karena selama ini kamu
sudah berusaha menjauh dari aku. Kalau bukan kamu yang mencoba mendekati aku,
maka aku yang akan mendekatimu. Jadi aku mohon, duduk diam sejenak dan
bicarakan ini.”
Sosok Saras yang duduk tegak dan
tertimpa lampu kamar yang remang-remang membuat Jona ingin menyudahi percakapan
yang belum mereka mulai. Ia yakin, percakapan ini akan menimbulkan keributan
nantinya.
“Kenapa belakangan ini kamu
menghindar dariku, apa yang telah aku perbuat hingga kamu tidak betah berada di
dekatku.”
“Aku hanya ingin bekerja lebih
keras lagi. Bukannya kamu yang menginginkan kehidupan mapan.”
Saras menghempaskan punggungnya
ke punggung kursi.
“Jo, kamu tahu bukan itu maksudku
kemarin. Aku ingin kita hidup bahagia. Aku ingin kita bisa menghabiskan waktu
bersama lebih banyak, berbagi cerita seperti dulu.”
“Itulah perbedaannya Saras.
Hubungan kita bukan seperti dulu lagi. Kita menikah dan permasalahan yang
terjadi lebih komplek. Bukan lagi masalah ngambek atau merajuk karena salah
satu di antara kita lupa memberi kabar dalam sehari.”
“Tapi itu semua bisa kita cegah
kalau kamu mau menuruti Papa kamu. Kita akan punya banyak waktu berdua seperti
dulu.”
“Sebenarnya apa sih yang kamu
mau, Saras?” Suara Jona meninggi,
“Bukankah kamu yang ingin kita hidup mapan, maka dari itu aku bekerja keras.
Sekarang kamu ingin kita lebih banyak menghabiskan waktu berdua. Kamu bukan
anak kecil yang harus selalu aku temani, bukan?”
Saras terhenyak.
Dimana kesalahan yang ia perbuat
hingga menimbulkan jurang makin lebar di antara mereka. Saras sulit menembus
pikiran Jona.
“Oke. Aku memang bukan anak kecil
dan begitu juga kamu, Jo.” Saras pasrah. Ia menyerah. Tidak akan mencoba bicara
lagi dengan Jona. Kalau memang harus seperti ini, biarlah.
***
Jona merasa marah karena Saras
tidak bisa menerima apa yang telah ia berikan. Kata-kata Saras seolah-olah
meremehkan kemampuannya sebagai kepala rumah tangga. Maka dari itu ia ingin
membuktikan, tidak perlu jabatan tinggi untuk hidup mapan, tapi kerja keras pun
bisa asalkan ia mau.
Tapi apa yang ingin ia buktikan?
Keegoisannya untuk membuktikan kalau dia mampu membuat istrinya merasa kecewa,
ia makin tidak punya waktu bicara dengan Saras, tidak bisa menikmati makanan
Saras lagi, dan ia tidak pernah tahu apa yang Saras lakukan bila ia tidak ada
di rumah.
Bicara. Saras selalu mengajaknya
bicara. Tapi untuk apa? Kalau ada waktu luang ia akan lebih memilih istirahat
daripada membicarakan keluhannya di kantor. Membicarakan tekanan yang ia dapat
dari kantor menandakan ia lemah. Dan ia tidak mau tampak lemah di mata Saras.
Jam seolah berlalu berdetak
begitu cepat, hingga tanpa terasa hari sudah menunjukan pukul 5 sore. Hari ini
ia tidak ada lembur, pekerjaan pun terselesaikan dengan baik, tanpa masalah.
Ayahnya memujinya untuk itu.Tiba-tiba saja perasaan Jona menjadi lebih baik
ketika ia bisa menghadapi permasalahan kantor dengan baik. Dan ia rasa, mungkin
ia harus pulang dan minta maaf pada Saras.
Jona memarkir mobilnya di
halaman. Setangkai bunga dan coklat kesukaan Saras berada di kedua tangannya.
Ia tahu bunga ataupun coklat tidak bisa menebus kesahalannya, tapi hanya ini
satu-satunya media yang ia tahu untuk meminta maaf pada wanita.
Jona mengetuk pintu. Tapi tidak
ada jawaban. Ia mencoba menekan kenop pintu, tapi hasilnya sama saja. Terkunci.
Ia merogoh kunci cadangan di tas kantornya dan mencoba membuka pintu. Walaupun
gelap hampir melanda, tapi tidak satupun lampu di hidupkan. Jona melangkah ke
dapur, sayur yang sedang di potong-potong tergeletak di atas meja kompor. Rasa
takut menyusup cepat di benak Jona. Ia tidak bisa memperkirakan apa yang
terjadi hingga Saras meninggalkan pekerjaannya.
Ia merogoh ponselnya dan menelpon
ke ponsel Saras. Tapi ponsel Saras rupanya tertinggal di atas meja makan. Kini
ia tidak tahu harus menghubungi kemana. Ia dilema, ingin menghubungi ayah
mertuanya atau tidak. Tapi ia terlalu takut. Itu sama saja membuka rahasia
rumah tangganya.
Setelah ia terlalu bingung untuk
melakukan apa, telepon rumah berdering. Ia mengangkatnya dengan terburu-buru
dan disambut suara wanita yang tenang di seberang sana.
“Ya betul,” Jona menjawab
panggilan itu, “Saya suaminya. Ada apa dengan istri saya?.... Apa keserempet
motor?.... Baik. Saya kesana segera.”
Jona bergegas memacu mobilnya.
Setelah percakapan dengan wanita itu, ia malah makin tidak tenang. Ia merapal
doa yang ia tahu demi istrinya. Apapun itu ia ingin Saras baik-baik saja.
Mengingat pertengkaran mereka tadi pagi, membuat Jona makin menderita. Ia tidak
ingin ... Ah membayangkannya saja ia tidak sanggup.
Jona berlari bagaikan orang gila.
Menarik suster yang pertama kali ia jumpai untuk menayai kamar istrinya. Dan
suster itu pun mengajak Jona ke kamar putih bersih yang ukurannya cukup kecil.
Tapi setidaknya kamar itu lebih privasi.
Saras terlihat kacau. Selang di
tanganya di sambungkan dengan cairan infus. Di dahi Saras ada plester luka
kecil, dan hampir tersembunyi oleh rambutnya.
Ada yang aneh menurut Jona. Tidak mungkin perawatan ini hanya untuk
pasien yang terkena serempet motor.
“Kamu kenapa?” Jona menarik kursi
ke samping istrinya dan mengenggam tangannya yang ringkih. Jona merasakan
tangan Saras kapalan di berbagai tempat. Hal itu makin menyayat hatinya. Apa
yang telah ia lakukan pada tangan yang dulunya selembut sutra.
“Cuma keserempet motor Jo.
Emangnya suster gak bilang?” Suaranya yang lemah menyiratkan rasa senang
sekaligus geli.
“Tapi ─” Mata Jona yang meyelidiki selang di tangan Saras,
“Masa perlu di infus?”
“Seandainya kamu mau mendengarkan
ucapanku saat itu, kamu akan tahu aku tengah menyiapkan kejutan buat kamu.”
Jona makin tidak mengerti.
Tepat saat itu, dokter masuk
hendak memeriksa Saras. “Coba kamu tanya sama dokternya.” Saras masih tetap
saja dengan sikapnya yang penuh rahasia. Jona menjadi gemas sendiri jadinya.
Dokter tertawa melihat Jona yang
kebingungan, “Istri Anda sedang hamil dua bulan. Dan kecelakaan kecil tadi
siang, membuat istri anda syok. Tapi selebihnya istri anda dalam kondisi yang
sehat, dan calon bayi pun sehat.”
Setelah melakukan pemeriksaan
rutin, dokter dan perawatnya pun pergi. Tinggal Jona dan Saras di ruangan putih
bersih itu. Ditemani suara tv yang sengaja Saras kecilkan.
“Hamil? Dan aku gak kamu kasih
tahu?”
Saras menyentil dahi suaminya,
“Akan aku kasih tahu, bukan gak aku kasih tahu!” Saras menegaskan.
“Maaf!” Jona berbisik
“Coba sekali lagi?”
“Maaf!”
“Masih kurang kedengaran.” Saras
membandel.
“Iya maaf Saras.” Jona kesal
“Eh, gitu caranya minta maaf sama
istri?”
Jona bangkit dan mencium kening
istrinya, “Maafin aku Saras. Udah jadi suami yang egois.”
Saras tertawa, “Bagus kalau kamu
paham. Sekarang kamu tahu kan alasan kenapa aku ingin punya banyak waktu
bersama dan kehidupan yang mapan? Tidak lain karena aku ingin calon bayi ini
merasakan hidup yang layak dan merasakan kehadiran Papanya setiap hari.”
“Iya aku paham.”
“Sekarang kamu harus berjanji.”
Jona menengadahkan wajahnya, “Mulai
detik ini kamu harus menceritakan semua masalahmu denganku. Aku ingin tahu
apapun yang membuatmu resah. Mungkin aku tidak bisa memberikan solusi bagimu,
tapi tolong bicaralah. Justru dengan sifat diammu itu, membuat aku berpikiran
macam-macam.”
“Aku tidak ingin terlihat lemah
di mata kamu.”
“Teori siapa yang mengatakan,
membicarakan suatu masalah adalah kelemahan?”
Jona duduk diam tidak bergeming.
Saras melanjutkan, “Bicaralah.
Kalau bukan denganku, bicaralah dengan calon bayi kita.” Saras mengusap
perutnya yang masih rata.
Jona juga ikut mengusap perut
Saras. Tengah menimbang-nimbang tawaran Papanya untuk menduduki posisi yang
dulu pernah di tawarkan. Kini ia sadar. Setelah menikah ia tidak bisa memilih
melakukan pekerjaan yang ia sukai atau tidak ia sukai. Berat ataupun ringan.
Semua itu harus ia lakukan karena ada sesuatu yang tengah ia perjuangkan. Bukan
hanya dirinya sendiri, tapi istri dan anak yang tengah di kandung Saras.
Meski berat, mulai hari ini ia
berjanji akan menyediakan waktu untuk bercengkrama dengan Saras dan bicara dari
hati ke hati. Sama seperti mereka pacaran dulu.
***
END
NIkah sama belum emang beda banget buat istri, eh, Saras ...
BalasHapusMakanya sering dibilang, kalau pacaran lama gak menjamin pernikahan langgeng :)
HapusThanks udah mampir ya
Bicara lah saras, keren euy
BalasHapusHi alex ...
HapusThanks ya udah mampir :)
EYD penulisan sangat baik, tema cerita sangat meanstream, tapi tetap keren, kunjungi juga rfn18.blogspot.com
BalasHapusHi .... thanks banget saran dan kritiknya. Aku menghargai sekali kamu mau memberi penilaian terhdap tulisan aku
Hapus