Langsung ke konten utama

[Cerpen] Bicaralah!




***

Saras menggenggam amplop putih di kedua tangannya. Menanti-nanti bahagia kedatangan suaminya yang ia perkirakan akan pulang sebentar lagi. Ia akan memberi kejutan kepada suaminya. Sengaja tidak melalui telepon ataupun sms, ia ingin suaminya melihat langsung. Dan membayangkan itu semua membuat Saras senyum-senyum sendiri.

Suara mobil terdengar di halaman rumah. Dengan sigap Saras melompat dari sofa dan berjalan mendekati pintu. Menyambut sang suami.

Jona, laki-laki muda yang tampan itu tersenyum menenangkan pada istrinya. Tapi senyum itu adalah senyum rutinitas yang ia lakukan selepas kerja, untuk menghargai sang istri yang rela menantinya.

“Gimana harimu, Jo?” Saras mengambil tas kerja suaminya dan melepaskan sepatunya.

Jona melonggarkan dasinya dan membuka beberapa kancing kemejanya. Ia bersandar pada sofa dan menarik nafas lega. Seperti bebannya tertampung oleh sofa bewarna putih bersih itu.

“Capek seperti biasa. Rupanya Papa serius ingin menjadikan aku pemilik perusahaan.”

“Seharusnya kamu senangkan?”

“Aku lebih suka bekerja sesuai apa yang aku inginkan.” 

“Tapi aku rasa keputusan Papamu benar, Jo.” Saras berhenti, ia memilih kata yang tepat untuk kalimat selanjutnya, “Kamu sudah menikah, ada tanggung jawab yang harus kamu pikirkan. Kalau kamu menuruti Papamu, kita akan hidup mapan dan bisa membina keluarga lebih baik.”

Saras sudah siap-siap dengan kejutan yang ia simpan daritadi.

Tapi tiba-tiba saja Jona berdiri dan memandang istrinya yang sedang duduk.

“Kamu ingin kita yang hidup mapan, atau kamu yang hidup mapan?”
Saras tersinggung. Ia tidak menyangka jawaban Jona akan sesakit itu. Ia memang terlahir dari keluarga berkecukupan dan anak tunggal pula. Jadi kebiasannya yang ingin hidup enak memang tidak bisa selalu disalahkan, tapi ia berubah.

Berjanji pada dirinya sendiri ia akan berubah. Kalau ia tidak berniat berubah, ia tidak akan mau tinggal di rumah kontrakan yang luasnya tidak sampai setengah rumah Saras. Ia tidak akan mau tinggal tanpa pembantu dan ia tidak akan menerima keputusan Jona ketika ia benar-benar ingin hidup dari kerja kerasnya sendiri, bukan dari bantuan ayahnya.

“Kalau kamu punya masalah, bicarakan denganku.”

“Tidak usah. Wanita tidak akan mengerti apa yang pria lakukan.” Jona mengambil tas dari lantai dan memasuki kamar. Membantingnya pelan tapi meninggalkan kesan yang tidak nyaman di hati Saras.

Saras hanya mampu memandangi amplop putih yang daritadi ia sembunyikan di balik bajunya. Kini ia harus menyembunyikan amplop itu lebih lama lagi.

Sampai kapan?

Ia pun tidak tahu.

***

Saras menikahi Jona ketika laki-laki itu melamarnya. Tanpa ragu, Saras menerimanya. Jona mengajukan syarat sebelum menikah. Ia ingin Saras mau hidup dengannya jauh dari campur tangan orang tua, dan Saras menerimanya. Asalkan itu bersama Jona, tidak akan ada masalah yang perlu ia khawatirkan.

Saras ternyata keliru. Jona terlalu serius untuk hidup sendiri dan berusaha membangun keluarga ini dengan kerja kerasnya sendiri. Ia memulai dengan menjadi pegawai di kantor papanya, padahal ia sudah di tawarkan untuk menduduki jabatan tertinggi.

Sikap Jona yang dulu selalu Saras sukai, entah kenapa menjadikan rasa cemas di hati Saras. Makin lama Jona makin jarang tersenyum, dan makin jarang bicara padanya. Padahal dulu mereka selalu berbagi cerita, suka dan duka. Sifat inilah yang membuat jarak di antara mereka makin melebar. Setiap kalimat yang Saras ucapkan rasanya seakan menyindir ketidakmampuan Jona, sebaliknya Jona yang salah merespon kalimat Saras akan membalasnya dengan kalimat yang menyakitkan.

Saras bertahan.

Demi sesuatu yang bisa ia harapkan dari pernikahan ini. Ia hanya butuh moment yang tepat, ketika Jona akan mengetahui betapa pentingnya pernikahan ini bagi dirinya. Bagi calon bayi yang tengah Saras kandung.

***

Hari-hari selanjutnya tidak berubah menjadi lebih baik. Jona makin pulang larut malam dan pergi pagi sebelum Saras terbangun. Entah apa yang ada di pikiran Jona saat itu. Saras tidak mengerti. Hubungan pacaran mereka selama 5 tahun ternyata bukan jaminan pasangan akan saling mengerti.

Sampai suatu hari Saras duduk mematung di depan Jona yang tertidur pulas. Pagi ini ia harus bicara dengan suaminya.

Jam weker yang Jona setel berdering pelan di balik bantal Jona. Ternyata itu kenapa Jona bisa bangun begitu pagi sebelum Saras terbangun. Jona yang mengerjapkan matanya kaget melihat istrinya dalam gaun tidur putih duduk di kursi seakan menungguinya.

Tidak ingin menyulut keributan, Jona melangkah ke kamar mandi dan melakukan ritual pagi hari. Ia keluar lagi dan masih melihat Saras duduk diam di kursi. Tidak berubah sedikitpun. Membuat ia merinding.

“Aku ingin bicara Jo.” Suara Saras lembut.

“Bicara aja. Aku bakal dengar dari sini.” Jona memilah baju kerja yang akan ia pakai.

“Aku bukan hanya ingin di dengar, tapi aku ingin kita saling memahami.”

Seakan menghindar, Jona menjawab, “Haruskah subuh-subuh seperti ini?”

“Iya. Karena selama ini kamu sudah berusaha menjauh dari aku. Kalau bukan kamu yang mencoba mendekati aku, maka aku yang akan mendekatimu. Jadi aku mohon, duduk diam sejenak dan bicarakan ini.”

Sosok Saras yang duduk tegak dan tertimpa lampu kamar yang remang-remang membuat Jona ingin menyudahi percakapan yang belum mereka mulai. Ia yakin, percakapan ini akan menimbulkan keributan nantinya.

“Kenapa belakangan ini kamu menghindar dariku, apa yang telah aku perbuat hingga kamu tidak betah berada di dekatku.”

“Aku hanya ingin bekerja lebih keras lagi. Bukannya kamu yang menginginkan kehidupan mapan.”

Saras menghempaskan punggungnya ke punggung kursi.

“Jo, kamu tahu bukan itu maksudku kemarin. Aku ingin kita hidup bahagia. Aku ingin kita bisa menghabiskan waktu bersama lebih banyak, berbagi cerita seperti dulu.”

“Itulah perbedaannya Saras. Hubungan kita bukan seperti dulu lagi. Kita menikah dan permasalahan yang terjadi lebih komplek. Bukan lagi masalah ngambek atau merajuk karena salah satu di antara kita lupa memberi kabar dalam sehari.”

“Tapi itu semua bisa kita cegah kalau kamu mau menuruti Papa kamu. Kita akan punya banyak waktu berdua seperti dulu.”

“Sebenarnya apa sih yang kamu mau, Saras?”  Suara Jona meninggi, “Bukankah kamu yang ingin kita hidup mapan, maka dari itu aku bekerja keras. Sekarang kamu ingin kita lebih banyak menghabiskan waktu berdua. Kamu bukan anak kecil yang harus selalu aku temani, bukan?”

Saras terhenyak.

Dimana kesalahan yang ia perbuat hingga menimbulkan jurang makin lebar di antara mereka. Saras sulit menembus pikiran Jona.

“Oke. Aku memang bukan anak kecil dan begitu juga kamu, Jo.” Saras pasrah. Ia menyerah. Tidak akan mencoba bicara lagi dengan Jona. Kalau memang harus seperti ini, biarlah.

***

Jona merasa marah karena Saras tidak bisa menerima apa yang telah ia berikan. Kata-kata Saras seolah-olah meremehkan kemampuannya sebagai kepala rumah tangga. Maka dari itu ia ingin membuktikan, tidak perlu jabatan tinggi untuk hidup mapan, tapi kerja keras pun bisa asalkan ia mau.

Tapi apa yang ingin ia buktikan? Keegoisannya untuk membuktikan kalau dia mampu membuat istrinya merasa kecewa, ia makin tidak punya waktu bicara dengan Saras, tidak bisa menikmati makanan Saras lagi, dan ia tidak pernah tahu apa yang Saras lakukan bila ia tidak ada di rumah.

Bicara. Saras selalu mengajaknya bicara. Tapi untuk apa? Kalau ada waktu luang ia akan lebih memilih istirahat daripada membicarakan keluhannya di kantor. Membicarakan tekanan yang ia dapat dari kantor menandakan ia lemah. Dan ia tidak mau tampak lemah di mata Saras.

Jam seolah berlalu berdetak begitu cepat, hingga tanpa terasa hari sudah menunjukan pukul 5 sore. Hari ini ia tidak ada lembur, pekerjaan pun terselesaikan dengan baik, tanpa masalah. Ayahnya memujinya untuk itu.Tiba-tiba saja perasaan Jona menjadi lebih baik ketika ia bisa menghadapi permasalahan kantor dengan baik. Dan ia rasa, mungkin ia harus pulang dan minta maaf pada Saras.

Jona memarkir mobilnya di halaman. Setangkai bunga dan coklat kesukaan Saras berada di kedua tangannya. Ia tahu bunga ataupun coklat tidak bisa menebus kesahalannya, tapi hanya ini satu-satunya media yang ia tahu untuk meminta maaf pada wanita.

Jona mengetuk pintu. Tapi tidak ada jawaban. Ia mencoba menekan kenop pintu, tapi hasilnya sama saja. Terkunci. Ia merogoh kunci cadangan di tas kantornya dan mencoba membuka pintu. Walaupun gelap hampir melanda, tapi tidak satupun lampu di hidupkan. Jona melangkah ke dapur, sayur yang sedang di potong-potong tergeletak di atas meja kompor. Rasa takut menyusup cepat di benak Jona. Ia tidak bisa memperkirakan apa yang terjadi hingga Saras meninggalkan pekerjaannya.


Ia merogoh ponselnya dan menelpon ke ponsel Saras. Tapi ponsel Saras rupanya tertinggal di atas meja makan. Kini ia tidak tahu harus menghubungi kemana. Ia dilema, ingin menghubungi ayah mertuanya atau tidak. Tapi ia terlalu takut. Itu sama saja membuka rahasia rumah tangganya.

Setelah ia terlalu bingung untuk melakukan apa, telepon rumah berdering. Ia mengangkatnya dengan terburu-buru dan disambut suara wanita yang tenang di seberang sana.

“Ya betul,” Jona menjawab panggilan itu, “Saya suaminya. Ada apa dengan istri saya?.... Apa keserempet motor?.... Baik. Saya kesana segera.”

Jona bergegas memacu mobilnya. Setelah percakapan dengan wanita itu, ia malah makin tidak tenang. Ia merapal doa yang ia tahu demi istrinya. Apapun itu ia ingin Saras baik-baik saja. Mengingat pertengkaran mereka tadi pagi, membuat Jona makin menderita. Ia tidak ingin ... Ah membayangkannya saja ia tidak sanggup.

Jona berlari bagaikan orang gila. Menarik suster yang pertama kali ia jumpai untuk menayai kamar istrinya. Dan suster itu pun mengajak Jona ke kamar putih bersih yang ukurannya cukup kecil. Tapi setidaknya kamar itu lebih privasi.

Saras terlihat kacau. Selang di tanganya di sambungkan dengan cairan infus. Di dahi Saras ada plester luka kecil, dan hampir tersembunyi oleh rambutnya.  Ada yang aneh menurut Jona. Tidak mungkin perawatan ini hanya untuk pasien yang terkena serempet motor.

“Kamu kenapa?” Jona menarik kursi ke samping istrinya dan mengenggam tangannya yang ringkih. Jona merasakan tangan Saras kapalan di berbagai tempat. Hal itu makin menyayat hatinya. Apa yang telah ia lakukan pada tangan yang dulunya selembut sutra.

“Cuma keserempet motor Jo. Emangnya suster gak bilang?” Suaranya yang lemah menyiratkan rasa senang sekaligus geli.

“Tapi ” Mata Jona yang meyelidiki selang di tangan Saras, “Masa perlu di infus?”

“Seandainya kamu mau mendengarkan ucapanku saat itu, kamu akan tahu aku tengah menyiapkan kejutan buat kamu.”

Jona makin tidak mengerti.

Tepat saat itu, dokter masuk hendak memeriksa Saras. “Coba kamu tanya sama dokternya.” Saras masih tetap saja dengan sikapnya yang penuh rahasia. Jona menjadi gemas sendiri jadinya.

Dokter tertawa melihat Jona yang kebingungan, “Istri Anda sedang hamil dua bulan. Dan kecelakaan kecil tadi siang, membuat istri anda syok. Tapi selebihnya istri anda dalam kondisi yang sehat, dan calon bayi pun sehat.”

Setelah melakukan pemeriksaan rutin, dokter dan perawatnya pun pergi. Tinggal Jona dan Saras di ruangan putih bersih itu. Ditemani suara tv yang sengaja Saras kecilkan.

“Hamil? Dan aku gak kamu kasih tahu?”

Saras menyentil dahi suaminya, “Akan aku kasih tahu, bukan gak aku kasih tahu!” Saras menegaskan.

“Maaf!” Jona berbisik

“Coba sekali lagi?”

“Maaf!”

“Masih kurang kedengaran.” Saras membandel.

“Iya maaf Saras.” Jona kesal

“Eh, gitu caranya minta maaf sama istri?”

Jona bangkit dan mencium kening istrinya, “Maafin aku Saras. Udah jadi suami yang egois.”

Saras tertawa, “Bagus kalau kamu paham. Sekarang kamu tahu kan alasan kenapa aku ingin punya banyak waktu bersama dan kehidupan yang mapan? Tidak lain karena aku ingin calon bayi ini merasakan hidup yang layak dan merasakan kehadiran Papanya setiap hari.”

“Iya aku paham.”

“Sekarang kamu harus berjanji.”

Jona menengadahkan wajahnya, “Mulai detik ini kamu harus menceritakan semua masalahmu denganku. Aku ingin tahu apapun yang membuatmu resah. Mungkin aku tidak bisa memberikan solusi bagimu, tapi tolong bicaralah. Justru dengan sifat diammu itu, membuat aku berpikiran macam-macam.”

“Aku tidak ingin terlihat lemah di mata kamu.”

“Teori siapa yang mengatakan, membicarakan suatu masalah adalah kelemahan?”

Jona duduk diam tidak bergeming.

Saras melanjutkan, “Bicaralah. Kalau bukan denganku, bicaralah dengan calon bayi kita.” Saras mengusap perutnya yang masih rata.

Jona juga ikut mengusap perut Saras. Tengah menimbang-nimbang tawaran Papanya untuk menduduki posisi yang dulu pernah di tawarkan. Kini ia sadar. Setelah menikah ia tidak bisa memilih melakukan pekerjaan yang ia sukai atau tidak ia sukai. Berat ataupun ringan. Semua itu harus ia lakukan karena ada sesuatu yang tengah ia perjuangkan. Bukan hanya dirinya sendiri, tapi istri dan anak yang tengah di kandung Saras.

Meski berat, mulai hari ini ia berjanji akan menyediakan waktu untuk bercengkrama dengan Saras dan bicara dari hati ke hati. Sama seperti mereka pacaran dulu.

***
END

Komentar

  1. NIkah sama belum emang beda banget buat istri, eh, Saras ...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Makanya sering dibilang, kalau pacaran lama gak menjamin pernikahan langgeng :)

      Thanks udah mampir ya

      Hapus
  2. EYD penulisan sangat baik, tema cerita sangat meanstream, tapi tetap keren, kunjungi juga rfn18.blogspot.com

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hi .... thanks banget saran dan kritiknya. Aku menghargai sekali kamu mau memberi penilaian terhdap tulisan aku

      Hapus

Posting Komentar

Tinggalkan kesanmu ketika berkunjung

Postingan populer dari blog ini

[SINOPSIS] Spring In London - Ilana Tan

Judul : Spring In London Pengarang : Ilana Tan Penerbit : Gramedia Pustaka Utama Jumlah Halaman : 238 halaman  Cetakan : kesepuluh Agustus 2011 Naomi menelan ludah dengan susah payah. Air mata mulai membayang dimatanya.  “Sekarang kau tidak akan bisa lagi memandang ku tanpa memikirkan apa yang pernah terjadi antara aku dan kakakmu.” “Tidak ... itu tidak benar.” “Dan aku tidak bisa memandangmu tanpa teringat pada kakakmu dan apa yang pernah dilakukannya padaku.” Kata-kata yang diucapkan dengan tajam dan jelas itu menghujam jantung Danny. Dadanya terasa sakit dan sekujur tubuhnya lumpuh. Ia menantap Naomi tanpa berkedip, tanpa bernapas. Ia membuka mulut, namun tidak ada suara yang keluar. Naomi Ishida adalah gadis keturunan Indonesia – Jepang, dan dia merupakan saudara kembar Keiko Ishida (baca Winter in Tokyo). Berbeda dengan Keiko, Naomi memilih karir sebagai seorang model dan menetap di London. Karirnya sebagai model sangat sukses sehingga setiap pemotret

[SINOPSIS] Detektif Conan 70

Dapat juga komik kesukaanku ini di toko buku, padahal jatah terbitnya itu tanggal 30 november kemarin, tapi di toko buku Banda Aceh baru adanya sekarang. Tapi peduli amat lah, amat aja gk begitu peduli, nah Lho ...!!?? Tapi whatever lah, yang pasti komik ini udah ada ditangan, jadi kenapa harus pusing (^0^). Dan seperti biasa aku juga mau ngeringkas sedikit isi komik  Detektif Conan 70, check it out >>>

Book Review: Damn! It's You - Pelangi Tri Saki

Semua Orang Punya Masalah, Tapi Tidak Semua Orang Mampu Menyelesaikannya Judul Buku: Damn! It’s You! Penulis: Pelangi Tri Saki Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama Cetakan ke-1: Januari 2017 Tebal: 232 halaman ISBN: 978-602-03-3661-9 Tidak dipungkiri, banyak sekali penulis-penulis muda yang terlahir dari akun kepenulisan, wattpad. Salah satunya adalah karya pertama Pelangi Tri Saki diterbitkan Gramedia dengan judul Damn! It’s You yang merupakan seri kedua ‘You’. Tulisan yang khas remaja dan banyak menyelipkan percakapan lucu khas anak-anak SMA membuat karyanya banyak dikenal. Setelah sukses dengan seri pertama Hey! You! Diharapkan novel kedua ini akan mengikuti jejak terdahulunya. Dengan mengambil kehidupan SMA, Saki mengajak pembaca untuk mengenal pasangan lucu yang kelakukannya berhasil mengocok perut pembaca. Nigi, seorang cewek yang terkesan tomboy dan cerewet tidak sengaja bertemu dengan Saba, cowok dengan muka datar tanpa ekspresi sama sekali. Diperpa