Dara mengamati ponsel di tangannya. Berkali-kali gadis mungil itu menimbang-nimbang ponsel bewarna putih gading itu, berkali-kali juga denting yang menandakan ada pesan masuk itu ingin diabaikan.
Tapi tidak bisa.
Walaupun ia mencoba mengabaikan
denting halus ponselnya, tapi ia tidak bisa. Terlebih lagi karena ia tahu siapa
yang mengiriminya pesan bertubu-tubi itu.
Dengan nafas tertahan dan mengucapkan
mantera penenang diri, ia membuka pesan itu.
Dar, gue butuh lo! Pesan itu berbunyi. Ada rasa dingin yang merayap ke hati Dara membaca
pesan itu. Padahal siang itu lumayan terik.
Ada apa Jo?
Sent
Lo harus nemenin gue ke mall. Ada kaos yang pengen gue pake buat karnaval
band ntar malam.
Dara ingin bertanya kenapa ia tidak
mengajak Saras, pacarnya. Tapi pertanyaan itu ia urungkan.
Oke. Jemput gue kalau gitu. Akhirnya itu yang berani Dara ketik. Ia terlalu naif untuk
bisa menyangkal perasaan ini untuk Jona. Dan bodohnya, Jona mengetahui perasaan
itu dan memanfaatkan perasaan Dara untuk kepentingannya.
Kejam?
Tidak. Dara menyukainya. Walaupun
Jona tidak pernah tahu betapa sakit hatinya ketika kebersamaan mereka berakhir
dan digantikan oleh Saras. Atau lebih parahnya, Jona tahu perasaan sakit Dara,
tapi ia tidak mau tahu.
Siap. 15 menit lagi gue nyampe ke rumah lo.
Dara tersenyum.
Akhirnya gue harus terjebak lagi
dengan perasaan ini, pikir Dara. Ia langsung ke kamar mandi dan mempersiapkan
diri untuk pergi bersama Jona. Sahabat terbaik sepanjang hidupnya.
***
Sesuai janji, Jona sampai tepat
waktu.
“Yuk naik.” Jona memakaikan helm ke
kepala Dara.
“Gue bisa pake sendiri, Jo.”
“Udah diam ah. Gue mau yang pakaikan
buat lo.”
Dara membiarkan tangan Jona menyentuh
rambutnya. Membiarkan tangannya bersentuhan ─tidak sengaja─ dengan dagunya. Membiarkan wajah
mereka begitu dekat, hingga Dara bisa mencium aroma mint dari bibir Jona yang
tipis.
Jona memacu motornya di jalanan
beraspal. Ia handal naik motor, gesit menghindari kendaraan lain yang sedang
berpacu.
“Pegang pinggang gue!” Teriak Jona
supaya suaranya terdengar oleh Dara. Gadis itu menurut. Sebenarnya tanpa Jona
suruh pun ia akan melingkarkan lengan kecilnya ke pinggang itu. Menempelkan
perasaannya ke punggung Jona supaya laki-laki itu tahu bahwa jantungnya
berdetak untuk dirinya.
Tidak lama kemudian Jona sudah
memarkir motornya. Ia juga melepas helm di kepala Dara dan mengandeng gadis
itu. Menyelipkan jemari hangat Jona di antara jemarinya sungguh membuat Dara
lupa bahwa mereka adalah sahabat.
Bila seperti ini terus, bagaimana Dara
sanggup menghindar dari Jona. Untuk mengatakan “tidak” saja, Dara tidak akan
mampu.
Jona melangkahkah kakinya ke distro
yang pertama kali mereka lihat di lantai satu. Awalnya Jona memakai kemeja,
tapi Dara mentertawakannya karena terlalu tua. Lalu Jona mencoba kaos berkerah,
Dara lagi-lagi menggeleng. Mengatakan ia mirip dengan anak kuliah daripada anak
band.
“Ah gue rasa ini ide jelek. Gak ada
yang cocok baju yang gue pake.”
“Coba ini.” Dara menyerahkan kaos
lengan panjang dengan gambar headset besar di sekeliling lehernya.
Jona menurut. Beberapa menit kemudia
ia keluar dengan tidak percaya diri.
“Gimana? Pasti jelek.”
“Lo cakep kali pake yang ini. Nah
biar gak ganggu lo pas sedang main gitar, lo tarik lengan baju lo.” Dara
menarik lengan baju itu hingga ke sikunya. “Perfect!”
Dara tersenyum cerah.
Jona memperhatikan pantulan dirinya
di cermin besar. Ia tersenyum puas.
“Lo memang paling ngerti gue.”
Jona akhirnya membeli kaos tersebut.
“Kita pulang sekarang aja ya. Gue ada
gladi buat pertunjukan ntar malam.”
“Gak masalah.”
Hal yang sama terulang ketika Dara
naik ke motor Jona. Ia memakaikan helm dan hembusan nafas Jona di wajahnya
bagaikan oksigen yang akan ia hirup dalam-dalam.
“By
the way, lo datang ya ntar malam.”
Dara mengangguk. Tidak mungkin ia
tidak datang di malam yang special bagi Jona.
***
Seperti biasa pertunjukan berjalan
lancar. Dan Jona berserta kawan-kawan tampil memukau. Dara sudah melambaikan
tanganya pada Jona ketika laki-laki itu di atas panggung. Memberi tanda bahwa
ia hadir sesuai janjinya.
Jona turun dari panggung. Menghilang
sejenak bersama teman-temannya dan muncul dari tenda tempat berkumpulnya para
musisi yang diundang.
Jona tersenyum ke arahnya, Dara pun
begitu. Ia hendak memeluk Jona atas penampilannya ketika Jona melewatinya dan
memeluk gadis yang rupanya berdiri di belakang Dara.
Saras.
Mengapa Dara lupa tentang gadis itu.
Seharusnya ia tahu bahwa Saras pasti hadir malam ini. Dara hendak pergi. Meninggalkan
sepasang kekasih yang sedang berpelukan itu. Tapi sebelah tangan Jona yang
bebas menarik tangan Dara, menahan kepergian sahabatnya yang patah hati.
Bolehkah seorang sahabat patah hati?
Dara tertawa miris. Tapi tawa itu
tidak bisa menyembunyikan air matanya.
END
Hari gini cewek seperti dara masih ada ga ya? miris banget.
BalasHapus*uhuk* aku rasa pasti ada. Karena cerita ini inspirasinya dari orang terdekat hihi ...
HapusTerima kasih sudah berkunjung ^^