Hampir sebulan ini aku tidak
melihat aktivitas dirinya di Facebook. Rasa rindu menguak hebat ketika aku
akhirnya merasa kehilangan kehadirannya. Biasanya tegur dan sapa tidak pernah
lupa dia berikan kepadaku ketika melihat aku aktif di facebook, walaupun itu
hanya sekedar Like atau Comment di postingan, pokoknya kehadirannya dirinya
sudah biasa bagiku.
Sampai hari ini, tepatnya tadi pagi. Aku melihat dirinya
mengupload sebuah foto baru. Aku yakin itu foto liburannya. Aku tidak ingin
bertanya, karena status aku dan dia hanya sebatas sahabat, hanya saja diam-diam
aku memikirkannya. Membayangkan kalau aku dan dirinya menjalin hubungan yang
lebih terasa nyata daripada sekedar keakraban di facebook, selalu berhasil membuat
sudut bibirku tertarik membentuk senyum.
Bodohnya aku!
Aku ingin memberi sebuah comment
pada foto yang di upload, tapi aku tidak berani. Menyapa sekedar basa-basi pun
tidak berani. Sungguh pengecut diriku ini. Terkadang memiliki sifat pemalu
sangat menyiksa hati. Seandainya saja aku punya keberanian lebih, pasti sekedar
“halo” atau “hai” akan gampang bagiku terucap.
Ah, akhirnya aku abaikan
facebook-ku dan beralih ke sebuah aplikasi diary.
Setelah setengah halaman diary
terisi, sebuah pemberitahuan muncul di layar smartphone-ku.
Ada pesan masuk di messenger-ku.
Ryan!
“Hai apa kabar?”
What? What? What? .....
Aku uring-uringan di atas tempat
tidur. Berguling dan memukul bantal guling gemas. Senyumku kali ini kembang
bagaikan bunga mekar yang disirami hujan. Aku tidak menyangka ia akan
mengirimku pesan dahulu semenjak ia menghilang dari akunnya selama sebulan ini.
Setelah puas aku senyum-senyum dan tertawa bagaikan orang gila, akhirnya aku
membalas pesannya.
“Baik. Kamu sendiri gimana?”
“Allhamdulillah baik juga.”
Aku agak kecewa sedikit ketika
pesannya tidak berlanjut dengan pertanyaan. Padahal aku ingin sekali menanyakan
kemana ia selama ini. Setelah menunggu sekitar lima menit, aku mengirimkan
pesan lagi.
“Kemana saja kamu selama ini?”
“Liburan ke rumah orang tuaku.”
Lagi-lagi.
Kenapa aku merasa ia tidak
antusias membalas pesanku. Padahal dia duluan yang memulai percakapan denganku?
Tapi kesempatan ini tidak akan
aku lewatkan. Ia sudah membuka jalan, masa aku harus melewatkanya begitu saja.
“Pantas saja, kamu jarang kelihatan online di facebook.”
Dia memasang emoticon tertawa, “Iya, susah sekali jaringan internet di
tempat orang tuaku.”
Hatiku bergetar melihat emoticon
tertawa itu. Seakan ia sedang tertawa bersamaku. Dan lagi-lagi hatiku yang
tadinya agak kecewa sedikit menjadi lebih baik. Aku bahagia!
Aku hendak membalas pesannya lagi
dengan pertanyaan yang lebih ringan dan akrab, tapi jariku berhenti saat
melihat tanda “sedang menulis pesan” yang
artinya dia sedang mengetik pesan untukku. Akhirnya aku menunggu dengan debar
jantung yang tidak karuan.
Rasanya aku bisa tidak tidur
semalaman kalau menunggu pesan yang akan ia kirimkan.
Setelah beberapa menit, akhirnya
pesannya masuk lagi.
“Boleh aku tanya sesuatu?”
Tanpa ragu aku menjawab, “Iya, tentu saja.”
Aku menunggu dengan perasaan
tidak menentu.
“Kamu masih sering bertemu Dara?”
Aku agak bingung dengan pertanyaannya,
tapi akhirnya aku jawab, “Iya. Baru kemarin
kami makan siang bersama.”
Lalu rasa ingin tahuku, membuat
aku menambahkan kata, “Emang kenapa?”
“Benarkah?”
Hanya itu. Pertanyaannya yang
sederhana itu menimbulkan sejuta pertanyaan dalam benakku.
“Iya. Emang kenapa sih?”
“Apa dia masih secantik dulu?”
Aku bagaikan tersambar petir saat
itu juga. Aku duduk tegak dan menatap pesan yang baru saja masuk. Aku yakin air
mukaku berubah tidak menentu seketika itu juga. Perasaan berbunga-bunga yang
baru saja aku rasakan berubah bagaikan bunga layu yang terinjak kaki pejalan
kaki. Dan pejalan kaki itu adalah Ryan yang menyadarkan kakinya pada setangkai
bunga yang mencoba bertahan hidup di antara bunga-bunga lainnya. Bunga yang
lebih cantik dan lebih menarik minat para pejalan kaki.
Seharusnya aku tahu.
Aku tahu bahwa ada alasan kenapa
ia memulai percakapan denganku. Seorang yang tidak pernah ia perhatikan dan
tidak pernah menjadi alasan buat ia bertahan lama disuatu tempat, kecuali bila
ada Dara bersamaku. Sahabatku yang cantik dan menjadi incarannya sejak lama.
Seharusnya aku tahu.
Percakapan yang ia mulai hanya
sebuah basa-basi untuk menanyakan kabar Dara. Sebuah kamuflase untuk pertanyaan
yang menjurus ke arah Dara.
Dan aku paham. Cinta seperti itu
tidak bisa aku pelihara, karena hanya akan tumbuh menjadi tumbuhan berduri yang
aku sendiri pun tidak mampu untuk memegangnya.
End chat
Aku rasa ini keputusan yang
tepat. Walaupun aku sakit, biarkan sakit ini hanya sesaat. Hanya luka gores
yang perihnya akan hilang dengan sebuah senyuman.
Senyuman dari orang yang
mencintaku apa adanya...
***
END
Komentar
Posting Komentar
Tinggalkan kesanmu ketika berkunjung