Diikutkan untuk Ramadhan Giveaway dengan tema [FIND THE RIGHT]
***
“Nah kalau gue jatuh cinta sama lo gimana?”
“Gue janji, gue gak akan pernah
memperlakukan lo kayak mereka lakukan ke kita.”
“Janji?”
“Janji.”
***
Seharusnya Dara tidak pernah
menuntut janji kepada Randi untuk tidak menyakitinya seperti yang Jona lakukan
dulu. Hanya saja tawaran Randi malam itu begitu memikat baginya yang hidup
dalam cinta tidak terbalas. Tapi sekarang, ketika ia mencintai Randi ia malah
takut untuk mengungkapnya, lebih parahnya lagi ia malah menjaga sikap agar
setiap gerak-geriknya tidak menunjukan perasaaannya. Makin lama Dara makin
menjauh dan menjaga jarak.
Dara bukanya takut kalau Randi
menolaknya, tapi Dara tidak mau Randi mencintainya karena janji yang mereka
buat 4 tahun lalu.
Dara pun tidak mengerti bagaimana
perasaan ini bisa hadir di antara persahabatan mereka. Randi yang humoris dan
pembawaanya yang mudah akrab dengan siapapun menimbulkan getar-getar cinta di
hatinya serta canda tawa dan perhatiannya mengobati luka di hati Dara hingga
luka itu tertutup sempurna. Tidak ada celah sedikitpun ia berikan untuk
mengingat Jona. Tidak sedikitpun ...
Makan siang bareng yuk! Pesan singkat di aplikasi LINE Dara.
Kemarin ia sudah mengunakan
alasan makan siang bersama teman-teman kantornya. Kemarinnya lagi ia
menggunakan alasan ada presentasi anak-anak magang. Sekarang apa?
Gue lagi puasa. Balas Dara singkat.
Tidak ada balasan lagi.
Dara menarik nafas panjang. Dia
memang bohong mengatakan puasa, tapi memiliki perasaan seperti ini sudah
membuat Dara kehilangan nafsu makannya.
“Eh, Dar lo masih disini?” Dimas
memutar kursi berodanya ke arah Dara, “Gak makan siang?”
Dara menggeleng lemah.
“Makan siang bareng gue aja.”
“Malas!” Jawab Dara singkat.
“Gue traktir.”
Ah. Kata traktir. Dara lemah
sekali terhadap kata itu. Lalu sebuah senyum tersungging di bibirnya. Dimas pun
tertawa.
***
Dimas teman sekantor Dara. Semua
orang tahu, kalau Dimas berusaha mendekati Dara, dan seringkali pula Dara
menghabiskan waktu bersama Dimas. Kedekatan mereka hanya tinggal sedikit lagi
sebelum diresmikan menjadi sepasang kekasih.
Seharusnya mudah bagi Dara.
Tapi kisah cinta tidak semudah
itu. Kalau tidak ada Randi dalam pikiraanya, mungkin dari awal kedekatannya
dengan Dimas sudah berubah status menjadi sepasang kekasih, bukan sekedar teman
kantor, teman makan siang, atau teman antar jemput.
“Tawaran gue sepertinya gak dapat
tanggapan dari lo.” Dimas membuka percakapan setelah larut dalam diam.
Dara tidak menjawab. Ia
menusuk-nusuk wortelnya dengan garpu dan memutarnya dalam mayones.
“Lo gantungin gue dengan sikap lo
kayak gini. Lo gak nolak pemberian gue, lo gak nolak perhatian gue, dan lo gak
nolak setiap penyataan cinta gue.”
“Gue Cuma ngerhargai aja. Gak
pernah niat punya maksud lain.” Sahut Dara akhirnya.
“Kalau gitu, kasih kepastian ke
gue. Gue butuh jawaban ‘iya’ atau ‘nggak’ dari lo.”
“Gue─” Dara salah tingkah, ia merasakan tatapan manik
hitam itu tepat ke arahnya. Menanti sang pemilik wajah untuk mengangkat
wajahnya dan berbalik menatap laki-laki itu.
Dimas tidak tahan dengan sikap
Dara yang berusaha menjauhi tatapannya. Tangannya yang lembut bergerak ke arah
punggung tangan Dara dan mengenggamnya.
“Gue sayang sama lo, Dar.”
Dara menarik tanganya dan
berusaha berani menatap Dimas. Mengubah posisi duduknya menjadi tegak dan
menarik nafas dalam-dalam.
“Lo mau jawaban jujur kan?”
Dimas mengangguk.
“Apapun jawaban gue, lo harus
terima.”
Sekali lagi Dimas mengangguk.
“Gue belum yakin kalau lo adalah
orang yang tepat buat isi hati gue.”
“Gue butuh alasan.”
Sekali lagi Dara menarik nafas,
“Karena gue sedang menata hati
buat seseorang yang gue cintai.”
“Dan lo yakin dia orang yang
tepat?”
Dara pun terdiam
***
Dara menyadari sesuatu.
Ia sudah bersikap tidak adil
kepada Randi selama ini. Menjauhinya tanpa alasan. Menjauhi sahabat yang
satu-satunya peduli pada sakit hatinya yang pernah ia rasakan dulu.
Ia mencoba menghubungi Randi.
Tapi laki-laki itu tidak mengangkatnya. Dara mengecek jam yang melingkar di
tangannya. Pukul 6 sore. Seharusnya Randi sudah selesai melakukan pemotretan.
Dara memutuskan akan ke rumah Randi dan mengatakan semuanya. Apapun jawaban
yang ia dengar, akan ia terima. Walau harus mengulang luka lama.
Ia harus berani. Karena tidak
akan ada kebahagiaan yang menunggunya bila ia terus kabur dari masalah. Setiap
masalah datang lagi, ia akan terbiasa kabur dan membiarkan tumpukan masalah
yang tidak ada pangkal penyelesaiannya.
Bila ini berakhir. Biarlah berakhir
dengan kepastian.
Benar kata Dimas. Dara tidak akan
tahu Randi adalah orang yang tepat bila ia hanya diam seperti patung dan lari
seperti pengecut ketika berhadapan dengan laki-laki itu.
***
Dara tiba di rumah Randi, dan ia
mendapati laki-laki itu sedang memakai sepatu.
“Lo mau pergi?” Dara bertanya
“Gue baru aja mau ke rumah lo.
Anterin ini.” Randi menyerahkan bungkusan kepada Dara.
Dara melihat isinya dan tertegun,
“Cendol? Buat apa?”
“Kan lo puasa. Nah nyokap
kebetulan bikin cendol buat kakak gue yang sedang ngidam. Sekalian aja gue
minta buat lo.”
Dara terhenyak.
Bagaimana bisa ia tidak mencintai
Randi bila ia bersikap seperti ini terus. Lama-lama hatinya akan meleleh
menerima kehangatan yang terus disodorkan Randi secara bertubi-tubi.
“Maaf Ran. Gue bohong.”
“Soal apa?”
“Gue gak puasa hari ini.”
“Jadi selama ini lo emang
menghindar dari gue?”
“Gue─” Dara kehabisan kata.
Randi merogoh kantongnya dan ia
mengeluarkan sesuatu dan menyerahkan kepada Dara.
“Gue tahu semuanya.”
Dara menatap satu-satu lembaran
yang diberikan Randi. Dan ia kaget sekali melihat apa yang ada di tangannya
saat ini.
Foto-foto saat ia sedang makan
siang bersama teman-teman kantornya beberapa hari lalu terpampang di
hadapannya. Dan lembaran paling akhir membuatnya dirinya bagaikan di hujam
belati tajam tepat di jantungnya.
Foto saat Dimas mengenggam
tangannya pun terpotret di dalam lembar putih itu. Tangan Dara gemetar dan
tidak sanggup menatap mata Randi.
“Gue bukan lancang ngikutin lo.”
Randi seakan menjawab pertanyaan di kepala Dara, “tapi gue gak sengaja mampir
ke sana ketika lo nolak ajakan makan siang gue. Gue jadi berpikir saat itu, apa
gue punya salah sama lo hingga lo tega bohong sama gue. Padahal kalau lo emang
nolak ajakan gue, gue gak pernah marah.”
Stop Ran, pikir Dara. Tapi suaranya tidak bisa keluar.
“Lalu hari selanjutnya gue pun
ngelakuin hal yang sama. Dan jujur gue emang sengaja untuk menguji kejujuran
lo. Lagi-lagi gue kecewa. Bahkan hari ini pun gue lebih kecewa.”
STOP RAN, bisik Dara. Tapi lidahnya yang kelu dan tenggorokannya
yang tercekat tidak bisa menghentikan kalimat-kalimat Randi.
“Gue menunggu. Menunggu kapan lo
akan jujur, makanya gue diam. Dan pas gue lihat lo datang dengan muka khawatir,
gue tahu ini saatnya.” Randi mendekat selangkah ke arah Dara, “Gue butuh lo
jujur. Kalau emang lo masih anggap gue sahabat.”
“Gue gak mau kita bersahabat lagi
Ran,” Bisik Dara pelan, hingga Randi harus menunduk untuk mendengar ucapan
Dara.
“Apa karena cowok lo yang minta?”
Dara mengangkat wajahnya. Menatap
mata coklat muda milik Randi. Tidak ada kehangatan di mata itu. Hanya ada ruang
hampa yang kosong. Tidak ada ekspresi.
“Dia bukan cowok gue.”
“Bukan cowok lo, tapi dia genggam
tangan lo?”
“Dia Cuma teman kantor gue.”
“Lo mau bohong sama gue?”
“GUE GAK TAHAN SAMA SIKAP LO YANG
KONYOL INI!” Dara melempar lembaran foto ke arah Randi. Air mata yang sedari
tadi ia tahan akhirnya tumpah tidak tertahankan. “Gue cinta sama lo, dan gue
sayang sama lo. Itu kejujuran yang gak pernah lo tahu.”
“Tapi─” Randi hendak membalas,
“Biar gue yang ngomong sekarang.
Dan lo dengerin gue.” Dara mengelap air matanya dengan kasar, “Gue coba
menjauhi lo supaya gue bisa menghilangkan rasa cinta gue. Gue gak mau lo
terikat janji ketika pertama kali kita memulai persahabatan kita. Tapi saat
Dimas mendekati gue, gue harap dia bisa menghapus cinta buat lo. Tapi bayangan
lo selalu ada di kepala gue. Apa yang harus gue lakukan? Mencari lo dan
mengakui semua, lalu lo yang merasa udah pernah bikin janji sama gue menerima
cinta gue? Yang ada kisah gue sama Jona bakal terulang lagi dari diri lo.”
Randi mendekat hendak membawa
kepala Dara dalam dekapannya. Tapi Dara menolak.
“Gue gak mau lo anggap gue sebagai
janji yang harus lo penuhi.”
Dara berbalik dan menghilang di
balik kemudi mobilnya lalu makin menjauh dari pandangan Randi. Kini tinggal
Randi yang menatap telapak tangannya.
Telapak tangan yang merindukan
kepala Dara bersadar di dadanya.
***
Butuh beberapa hari bagi Randi
untuk mencerna semua ucapan Dara. Dia seharusnya bersikap lebih dewasa mencari
tahu kenapa gadis itu menjauhinya. Spekulasi yang ia ciptakan dalam fikirannya
telah membuat kesimpulan yang salah selama ini.
Perasaan yang selalu ia simpan
kini bergejolak ingin menyembur ke permukaan.
Ia tersenyum miris. Seandainya
Dara bersikap diam seperti itu, wajar. Ia seorang gadis yang pernah terluka,
tapi bila Randi yang tidak berani jujur, ia merasa tidak lebih baik dari
seorang pecundang. Takut cintanya akan dipermainkan oleh sahabatnya sendiri.
Tapi Randi ingat, Dara bukanlah Saras. Dara adalah gadis yang jauh berbeda
dengan Saras. Lalu kenapa ia masih takut?
Ia harus mencari Dara dan
mengatakan semuanya. Randi mengambil sebuah kotak persegi di dalam lemari
pakaiannya dan memasukan dalam tas ranselnya.
Randi mencari Dara ke rumah, tapi
gadis itu tidak ada. Seharusnya ia sudah di rumah dari jam 5 sore. Randi
mencoba menelpon, tapi tidak di angkat. Ia sudah menduganya. Gadis itu butuh
ketenangan. Tidak sekarang. Sampai ia harus mendengarkan isi hatinya, Randi tidak
akan membiarkan gadis itu tenang.
Randi memacu motornya ke daerah
taman kota yang biasanya di gunakan oleh pasangan menikah untuk membawa
anak-anaknya bermain. Sore hari memang ramai, tapi Randi tau kemana harus
mencari gadis itu.
Di sudut taman di bawah pohon
palem, Dara duduk di atas rumput terawat. Menjulurkan kakinya ke depan dan
menopang tubuhnya dengan tangan yang ia taruh ke belakang. Randi menghampiri
gadis itu dan duduk di sebelahnya.
Seolah Randi tidak ada, Dara
terus menatap kepada seorang ibu mendorong ayun yang di naiki anaknya.
“Yang lo bilang kemarin itu benar
atau gak?” Randi memulai pembicaraan.
“Percuma kita sahabatan 4 tahun
kalau pertanyaan gitu masih lo ajukan.” Sahut Dara ketus.
Randi tersenyum. Ia tidak butuh
jawaban dari pertanyaannya. Yang ia butuhkan reaksi Dara terhadap pertanyaannya
barusan.
“Gue juga mau jujur sama lo.”
Dara diam. Tidak sedikitpun ia
menoleh kepada Randi.
“Gue jatuh cinta sama lo semenjak
pertama kali kita jadi sahabat─”
Dara menoleh tidak percaya, kesempatan ini di ambil Randi untuk meneruskan
ucapannya, “─Cuma gue
takut. Jona terlalu berarti buat lo, dan gue sadar kesempatan bisa dekat sama
lo Cuma menjadi sahabat. Lo menutup pintu hati rapat-rapat sampai-sampai gue susah
nemuin celah buat ungkapin sayang gue. Sampai gue lihat lo sama cowok kemarin,
gue rasanya pitam. Kenapa bukan gue, kenapa harus dia dan kenapa lo gak jujur.”
Randi terdiam menarik nafas. Dadanya
sedikit lega, tapi belum sepenuhnya.
“Gue kira, alasan lo menjauh dari
gue karena cowok itu. Gue terima kalau lo bisa nerima orang lain di hati lo,
dan gue pasti turut bahagia. Tapi gue marah lo jauh dari gue.”
Randi berhenti. Ada jeda yang
cukup lama antara kebisuan mereka berdua. Hanya terdengar riuh anak-anak
berlari bermain bersama ayah dan ibunya. Suara tangis yang menyayat hati pun
tidak terelakan ketika ada seorang gadis kecil kehilangan permen gula-gulanya
karena jatuh ke tanah.
“Trus?” Dara akhirnya bersuara.
“Ini isi hati gue selama ini.”
Randi mengeluarkan kotak berbalut kertas kado polos bewarna biru dan
menyerahkan ke pangkuan Dara.
Dara membuka kotak itu dan melihat
puluhan lembar─bisa
jadi ratusan─lembar
foto dirinya di dalam kotak tersebut. Dalam foto itu ada keterangan alasan
berjuta ekspresi wajahnya. Saat ia tertawa karena salah seorang teman mereka
mengocok botol cola dan membuka tutupnya hingga menyembur ke segala arah. Ada
foto Dara menangis karena menonton drama korea milik kakak Randi, padahal Dara
bersumpah tidak akan menangis. Dan berbagai macam foto lainnya yang bahkan Dara
tidak ingat kapan itu diambil.
Tapi satu foto yang Dara ambil
dan ia pandangi.
Foto yang diambil ketika ia
meminum coklat panas di rumah Randi 4 tahun lalu. Saat mereka mulai dengan
status persahabatan. Membuat ia teringat, janji kelingking yang mereka lakukan.
“Gue cinta sama lo bukan karena
janji yang kita buat.” Randi menjelaskan kekalutan di wajah Dara, “Setelah
melepas Saras, gue sadar lo adalah orang yang tepat buat jadi pengisi hati gue.
Tinggal menunggu waktu kapan lo mau membuka hati.”
Dara menutup kembali kotak itu. Lagi-lagi hanya ada keheningan di antara
mereka.
Tiba-tiba Dara bangkit dan
membersihkan pakaiannya dari rumput yang menempel. Menyerahkan lagi kotak itu
kepada Randi.
Randi menerima kotak tersebut
tanpa berani bertanya. Ia tidak mau tahu jawaban apa yang diterimanya nanti.
“Lo mau kemana?” Hanya itu yang
berani Randi ucapkan.
“Pulang.” Jawab Dara acuh, “Gue
mau mandi dan mau siap-siap pergi.”
“Kemana?” Randi tidak bisa
mencegah rasa ingin tahunya.
“Entah, tergantung lo mau bawa
gue kemana. Masa iya gue harus ngabisin malam minggu bareng nyokap nonton
sinetron dirumah.”
“Maksud lo?” Suara Randi
bergairah, tapi masih tidak berani berharap.
Dara tidak mau menjawab. Ia
berjalan meninggalkan Randi dengan penuh tanda tanya. Sebelum ia menjauh, ia
berbalik dan masih melihat Randi menatap kepergiannya.
“Kalau lo ke rumah, jangan lupa
kenalin diri lagi lo ke nyokap.”
Randi bingung. Makin bingung. Ia tidak
mengerti jalan pikiran gadis di hadapannya.
“Pengakuan lo barusan belum bisa
membuka mata lo?” Dara tersenyum jail, “Kenalin status baru kita, biar nyokap
gak bawel terus nanyain kenapa anak gadisnya gak ada yang ajak pergi.”
“Jadi?” Kali ini Randi
benar-benar bahagia.
Dara mengangkat kedua bahunya.
Enggan menjawab pertanyaan Randi. Lalu ia benar-benar menghilang di balik
keramaian yang makin memudar. Meninggalkan Randi dengan kotak di pangkuannya.
Ia lupa satu hal.
Ia lupa mengabadikan wajah Dara
ketika mereka resmi mengubah hubungan ini menjadi sepasang kekasih. Akhirnya ia temukan ekspresi yang tepat untuk melengkapi koleksi foto Dara. Ia ingin
ekspresi itu abadi selamanya.
***
END
Komentar
Posting Komentar
Tinggalkan kesanmu ketika berkunjung