Menonton tv adalah kegiatan yang
paling tidak aku sukai. Entah kenapa semua acara tv yang ditayangkan tidak
pernah bisa menyentuh minatku untuk duduk diam sejenak menyaksikan acara yang
tengah di putar. Bahkan aku rela menghabiskan waktuku yang membosankan dengan
memandang laptop serta menulis diary yang hampir jarang terisi. Maklum aku
lebih suka menyalurkan emosiku dengan cara lain. Sesuatu yang lebih aktif
seperti olahraga atau membantu Mbok Yem−asisisten
rumah tanggaku−
kepasar. Hitung-hitung untuk mengurangi lemak di bokongku.
Sampai suatu hari.....
Aku sedang membantu adikku yang
duduk di kelas 2 SD mengerjakan PR matematikanya. Kebetulan aku mengajarinya di
ruang yang bersebelahan dengan ruang keluarga dan kedua ruangan itu hanya
disekat dengan sekat tipis yang bisa kedengaran suara tv dari ruang keluarga.
Ibuku sedang memindah-mindah channel tv, dan kegiatan itu berulang-ulang ia
lakukan, tapi selalu iklan yang muncul. Maklumlah keluarga kami tidak
berlangganan tv prabayar, sehingga iklan menjadi penghibur yang terpaksa harus
di tonton. Hingga akhirnya ibu lelah dan membiarkan dirinya menonton iklan di
channel kesayangannya.
Disitulah mula aku mulai
memperhatikan benda berukuran 32’ inch di ruang keluarga.
Iklan sebuah aplikasi chatting
yang tengah populer di dunia menampilkan iklan tentang dua kekasih yang saling
merindukan. Namun bukan itu yang menarik perhatianku.
Tapi pria yang menjadi model
dalam iklan itu mengingatkan aku pada seseorang yang dulu pernah aku lupakan.
Bukan hanya fisiknya, tapi cara bicaranya pun sangat persis yang terpatri di
benakku. Hingga aku terpaku sejenak untuk mendengarkan iklan yang singkat itu.
Ya begitu singkat. Sama seperti
kisahku dan kisahnya dahulu...
***
Dua tahun lalu
“Hampir sejam aku menunggu kedatanganmu, Ryan.”
Laki-laki yang aku tegur itu malah terkekeh seakan ia tidak berbuat
salah sama sekali.
“Macet.” Jawabnya enteng, lalu ia duduk di sebelahku dan menyeruput
lemon tea milikku.
“Ryan!” Aku memekik. Aku kesal melihat ia seenaknya meminum minumanku.
“Jangan marah.” Candanya.
Aku suka gaya bicaranya yang terdengar jenaka. Walaupun aku dalam
kondisi kesal, aku bisa tersenyum simpul mendengarnya.
“Apa kabar baik yang akan kamu ceritakan?”
Gelagat Ryan berubah kaku. Kaki kanannya ia goyangkan. Aku hapal betul
kebiasaan itu. Kebiasaan yang selalu ia tunjukan ketika ia gelisah. Dan bila
tebakanku benar, kegelisahan itu disebabkan oleh berita yang akan ia sampaikan
sekarang.
“Aku diterima kerja−“ ia menggantung kalimatnya
“Tapi─” Aku memancing kalimat selanjutnya. Ia malah
menarik nafas dan enggan menatapku.
“Tapi aku ditempatkan di luar kota.”
“Dimana?”
“Kalimantan Barat.” Ucapnya lirih
***
Senggolan adikku menyadarkan aku
dari lamunan itu. Kini aku sedang menggali kenangan yang sudah aku kubur
dalam-dalam. Kalimat-kalimat yang diucapkan oleh adikku pun samar-samar aku
dengar. Iklan di tv berganti dengan cepat, digantikan dengan iklan minuman
ringan dan sekali-kali menampilkan episode-episode serial tv yang akan tayang.
“Kakak, dengerin dedek gak sih?”
Suara cemprengnya merenggut kesadaranku yang di batas awang-awang.
“Eh iya. Iya denger kok.” Aku
berkilah. Aku menarik buku PR yang sedang ia kerjakan dan memeriksa jawabannya.
Seakan suara laki-laki di iklan
itu mengikuti kenanganku, aku teringat sepotong kenangan tentangnya lagi.
***
“Kok suaranya sedih gitu sih?”
Aku mengelap ingusku. Menahan tangis akibat kerinduan yang aku tahan.
Ini teleponnya yang pertama kali setelah ia pergi ke Kalimantan dua minggu yang
lalu.
“Bagaimana aku tidak sedih kalau aku sama sekali tidak dapat kabar
darimu. Kupikir ... kupikir─” Tangisku pecah memenuhi
kamar. Semua kerinduan yang aku pendam, dan kesedihan yang aku sembunyikan
seolah membuncah bagaikan air bendungan yang tumpah. Bahkan suara bass-nya
tidak bisa menghentikan tangisku yang kembali mengalir.
“Aku punya kabar bagus.” Ucapnya dari seberang.
Aku tidak menanggapi. Kepedihan mendengar berita baik yang dulu pernah
ia sampaikan menjadi momok menakutkan bagiku. Seperti trauma akan kabar buruk
yang mengintai di baliknya.
“Kok diam?”
“Terakhir kali aku mendengar berita baik yang kamu sampaikan adalah
kita harus berpisah.” Ucapku dingin. Sepertinya ia menyadari perubahan suaraku,
hingga akhirnya ia tertawa perlahan.
“Bulan depan aku kembali ke Aceh. Tidak lama, hanya seminggu. Karena
ada urusan pekerjaan juga. Dan aku harap seminggu menjadi obat kerinduan buat
kita berdua.”
“Benarkah?”
“Aku tidak akan berbohong untuk hal seperti ini,bukan?”
***
Aku tidak bisa tidur di malam
harinya. Suara laki-laki itu berputar-putar seperti kaset rusak yang hanya
memperdengarkan bagian yang justru paling mengingatkan aku pada dirinya.
Aku mengambil smartphone-ku dan
membuka Youtube. Aku akan download video iklan tersebut dan memperdengarkannya
berulang-ulang. Kini aku bisa melihat jelas sosok laki-laki dalam iklan
tersebut. Ia memang mirip dengan Ryan, tapi bedanya Ryan memikili perawakan lebih
jangkung dan kulit agak gelap. Tubuhnya pun tidak gemuk dan kurus, berbeda
dengan laki-laki di iklan tersebut. Yang paling memedakan mereka berdua adalah
kumis tipis menyebalkan yang selalu Ryan pelihara. Mengingatkan aku pada tokoh
komik Kogoro Mouri dalam komik Detektif Conan.
Aku sadar, aku begitu
merindukannya.Pandanganku mendadak buram karena kristal yang mengantung di
pelupuk mataku. Aku merindukannya, sangat merindukannya.
“Aku tidak akan berbohong untuk hal seperti ini,bukan?”
Ternyata dia berbohong.
***
Hari demi hari aku menanti kepulangannya. Minggu demi minggu terus
berganti hingga menjadi bulan berganti bulan. Ia tidak kembali seperti
janjinya. Aku mencoba menghubungi ponselnya tapi tidak aktif. Aku mencoba
menghubunginya via email, tapi tidak kunjung mendapat balasan.
Hingga kerinduan itu menumpuk seperti gunung dan tunggu waktunya untuk
meledak memuntahkan lahar panasnya.
Air mataku kering. Hingga setahun berlalu aku tidak pernah tidak
menangisinya tiap malam. Berharap suatu malam ia akan mengirimku pesan dan
meminta maaf.
Tapi kata maaf itu hanya harapan kosong belaka. Karena suatu hari aku
mengetahui alasannya.
Aku melihat iklan di tv yang menayangkan pernikahan seorang putri dari
pengusaha tambang minyak terbesar di Indonesia dengan seorang pemuda. Remote tv
yang tengah kupegang terjatuh di lantai keramik yang keras hingga menghamburkan
batreai di dalamnya. Kuberlutut di depan tv meyakinkan mataku bahwa pria yang
di dalam iklan tv itu bukanlah Ryan.
Ryan kekasihku.
Tapi tidak ada yang salah dengan mataku. Karena aku tahu dia adalah
Ryan. Dan sejuta pertanyaan yang mengantung di benakku kini terjawab. Air
mataku juga menjawab perasaan hatiku saat ini. Hancur bukan kata yang tepat.
Tapi hati ini telah menjadi abu yang terbang di tiup angin dan tidak akan
pernah terbentuk lagi walaupun aku ingin.
Sejak saat itu, aku jadi membenci benda 32’ inc di hadapanku ini.
***
Apa rencanamu Tuhan?
Aku berbisik lirik sambil memeluk
ponselku. Seakan aku bisa mendekapnya kedalam pelukanku seperti dulu.
Kalau kami tidak bisa bersatu, lalu untuk apa Tuhan mempertemukan aku
dengan kenangan itu?
Selagi pertanyaan yang aku ajukan
pada Tuhan tidak mendapat jawaban. Aku tertidur dengan air mata yang tidak
kunjung berhenti. Di dasar sanubariku aku tidak membutuhkan jawaban. Karena
jawaban akan hanya mempersulit aku bangkit lagi.
Biarkan kenangan hari ini menjadi
bukti bahwa aku masih bisa merasakan sakit. Dan membuktikan bahwa aku masih
hidup untuk bisa mencintai orang lain.
Aku tidak akan melihat iklan itu
lagi di tv. Karena tekadku untuk menjauhi iklan tv itu sama besarnya dengan
melupakan dirinya.
Aku akan jatuh tertidur dalam
pelukan kegelapan yang selalu bersedia menampungku, menghapus air mataku dan
menidurkan aku dengan senandung kesunyian malam. Hingga sang surya membangunkan
aku dari tidur yang menjagaku.
***
END
Komentar
Posting Komentar
Tinggalkan kesanmu ketika berkunjung