Rumahku berada paling ujung jalan. Sebuah
rumah sederhana yang terletak di pedesaan, sehingga jalan di depan rumah masih tanah.
Kalau hujan turun, pasti becek sekali dan membuat kendaraan susah masuk atau
keluar karena licin. Beberapa kali aku pernah jatuh menggunakan sepeda motor.
Sudah beberapa kali ayahku melaporkan
hal tersebut kepada kepala desa, tapi beliau selalu mengatakan akan diusahakan.
Maksudnya diusahakan untuk bicara pada pejabat yang lebih berwenang. Tapi tahun
terus berlalu jalan kecil depan rumahku tetap saja tanah, padahal di beberapa
tempat jalan mereka sudah di aspal.
Mungkin karena sudah banyak keluhan,
akhirnya suatu pagi aku bangun dengan jalanan yang sudah di penuhi pasir
berkerikil besar. Gunanya untuk mengurangi becek. Ampuh memang untuk mengurangi
becek, tapi masalah barunya adalah membuat ban sepeda motor menjadi gampang
selip. Bukannya menyelesaikan masalah malah menambah masalah. Karena takut
jatuh, akhirnya aku jengkel dan aku selalu mendorong sepeda motorku. Maklum
memakai seragam sekolah dengan membawa motor di jalan yang berpasir membuat
jantung dag dig dug tidak karuan.
Nah disinilah awal mulanya aku
mengalami kejadian aneh.
Hari itu hari senin. Seperti biasa
aku pulang sore menjelang magrib. Senja udah mengantung rendah dilangit seperti
sedang merengkuh aku untuk cepat kembali. Tibalah di jalanan berkerikil itu.
Aku turun dari motor dan mendorongnya. Sebenarnya kesal. Aku capek baru pulang
dari sekolah dan belum mandi, lalu sampai di jalan kecil ini aku harus turun
dan mendorong sepeda motor. Jalanan sudah sepi, tidak ada orang lagi yang
berada diluar, karena adzan magrib akan segera berkumandang.
Aku dengan mantap terus mendorong
sepeda motor dengan pelan. Karena sudah biasa sepeda motor itu tidak begitu
berat lagi. Tiba-tiba aku mendengar suara kerikil yang bergesekan. Pelan Cuma
terasa jelas sekali karena suasana sepi. Aku hentikan langkahku melihat sesuatu
di belakangku.
Kosong.
Tiba-tiba bulu kudukku merinding.
Bunda dulu pernah memberi tahu anak gadis jangan pulang menjelang magrib. Tapi
karena kupikir itu hanya cara orang tua menakuti anak-anaknya, aku tidak pernah
mengubris nasehat bunda.
Aku melanjutkan perjalanan. Tidak
jauh lagi, satu meter lagi dari tempatku berdiri sekarang adalah halaman
rumahku. Aku berjalan lagi dan aku mendadak oleng.
Hup!
Seseorang langsung menahan punggungku
dan membantu memegang sepeda motorku yang sudah miring ke kiri. Aku hampir
menjerit, melihat sosok anak laki-laki yang tampan. Tapi tampannya misterius,
ada kantung mata di wajahnya yang putih itu. Tapi demi sikap sopan, aku hanya
tersenyum kecut bercampur takut.
“Te− terima kasih.” Gagapku.
Dia hanya mengangguk.
Lalu aku pergi dan tidak ingin
menoleh lagi kebelakang. Suara kerikil yang bergesekan tetap terdengar hingga
aku sampai di halaman rumah.
***
Jadwal pulangku masih sama seperti
kemarin. Menjelang magrib. Tapi mengingat kejadian kemarin aku makin gelisah
ketika harus memasuki jalan berkerikil itu. Kutarik nafas dan kuhembuskan
perlahan. Maksudnya agar jantungku berdetak lebih pelan. Seperti biasa aku turun dari motor dan
mendorongnya kembali.
Sepi sekali.
Bahkan aku bisa mendengar suara
serangga yang berdengung dari kejauhan. Lampu jalanan pun belum menyala. Oke
suasana ini berhasil membuat siapapun tidak nyaman.
Aku percepat langkahku, sehingga kerikil di jalanan yang aku pijak
menjadi berisik. Suara kerikil beradu bergema di kesunyian yang mencengkam ini.
Aku sadar, ini bukan gema dari kerikil yang aku pijak, melainkan ada orang lain
dibelakangku.
Wushh!!
Angin dingin mendadak berhembus. Aku
mempercepat langkahku.
“Tolong jangan ganggu aku! Tolong
jangan ganggu aku!” kalimat yang terus aku rapalkan dalam kesunyian yang
mengerikan ini.
Aku mempercepat jalanku. Motor yang
di tanganku tidak bisa kulepaskan. Terasa menempel di telapak tangan ini.
Hingga dengan terpaksa kudorong sekuat tenaga.
Kerikil yang bergesekan di belakangku
makin kencang juga, seolah mengikuti irama langkah kakiku. Aku tidak kuat terus
berjalan cepat seperti ini. Rumahku padahal sudah di depan sana. Sedikit lagi
aku akan aman berada di halaman rumah tanpa harus mendengar suara kerikil
mengerikan.
“Bunda!” Seruku saat aku melihat
wanita paruh baya itu bersandar pada pagar rumah kami.
Betapa bahagianya aku saat melihat
bunda ada disana. Tapi tumben sekali bunda menungguku. Apa mungkin hari ini aku
terlalu pulang larut?
Kulirik jam tanganku. Jam tanganku
mati di angka 6 lewat 30 menit. Aneh padahal baru beberapa hari lalu aku
mengganti baterainya. Kini ada bunda di sana yang menantiku, aku berani menoleh
kebelakang. Mencari tahu siapa orang yang mengikutiku.
Waktu berhenti.
Aku terpaku saat melihat sosok itu.
Dia adalah laki-laki yang kemarin, tapi bukan itu yang membuat kepalaku terasa
berputar. Tapi sosok disampingnya yang membuat aku lemas. Motor yang aku pegang
terjatuh dengan bunyi krakk mengerikan ketika body motor menyentuh kerikil
tajam.
“Tidak!” Jeritku
“Kemarilah Kayla.” Bisik laki-laki
itu halus.
“PERGI!” Jeritku. Tapi jeritanku
tidak bergema di kesunyian itu. Hanya kudengar isak tangis seorang wanita.
Kutolehkan kepalaku dan melihat bunda menangis sambil berjongkok di tanah.
Aku berlari. Bunyi kerikil yang aku
pijak membuat bunda mengalihkan matanya kepadaku. Matanya sendu sekali. Seperti
sudah menangis terlalu lama.
“Bunda tolong Kayla, bunda!” Tangisku
yang menjadi. Aku sembunyi di belakang bunda dan mengintip kearah laki-laki
beserta seseorang yang di sampingnya.
“Kemarilah Kayla.” Langkahnya pelan
menimbulkan kesan horor bagiku. Aku makin mengeratkan peganganku pada pakaian
bunda.
Laki-laki itu berhenti di depan
bunda. Ia memandang bunda dengan tatapan paling sedih yang pernah aku lihat
selama hidupku.
“Apakah dia disini?” Tanya bunda
Laki-laki itu mengangguk dan menunjuk
ke arahku, hingga bunda pun berbalik dan melihat kearah yang ditunjuk oleh
jarinya.
Aku makin tidak mengerti.
“Bunda?” Aku mengeraskan peganganku
“Bunda kenal orang ini? Siapa dia bunda?”
Tapi tatapan bunda padaku makin
menyayat hatiku. Selama ini aku tidak pernah membantah perkataan bunda. Aku
menyayangi bunda seperti bunda menyayangiku. Tapi melihat pemandangan ini
membuat aku makin ingin menjerit. Ingin berteriak kepada bunda.
“Bisakah dia tinggal?” Bunda bertanya
pada laki-laki itu.
“Tidak. Dia sudah terlalu lama berada
disini.”
Tangis bunda makin pecah. Melolong
mengerikan di antara adzan magrib yang sedang berkumandang.
Tangan laki-laki itu bergerak ke
arahku. Ia mengulurkan tangannya agar aku mau menyambutnya.
Aku tidak sudi.
Lalu aku tahu peranan orang yang
berada di sampingnya. Ia berjalan mendekatiku dan meraih tanganku yang masih
memegang pakaian bunda. Tiba-tiba saja tanganku lemah dan layu. Mendadak
transparan tidak berwujud. Aku mencoba menyentuh bunda tapi yang ada tanganku
melewatinya.
Kupadang kedua tanganku.
“Apa ini?” aku berpaling kepada sosok
itu. “APA YANG KAU LAKUKAN PADAKU?” Teriaku sekencang mungkin. Aku berharap
ayah mendengar teriakanku lalu akan datang dan menolong kami berdua.
“Kau harus ikut kembali bersamaku
Kayla.” Suaranya teduh, dan jernih. Hingga beberapa saat aku terpesona
mendengarnya.
“Siapa kau sebenarnya?”
“Aku adalah dirimu. Kau sudah tidak
ada di dunia ini. Kau ilusi yang terbentuk dari rasa rindu jasadku kepada
rumah.”
“Jasad? Maksudmu?” aku mulai
gemertaran
“Kau sudah mati. Aku sudah mati. Kita
berdua mati, Kayla.”
“BOHONG!”
“Aku ingat aku kesekolah. Aku ingat
aku naik motor dan selalu mendorongnya di jalanan brengsek ini. Jalan kerikil
yang pernah membuatku jatuh─”
“Pernah membuatmu jatuh dan kepalamu
terantuk batu tajam yang ada di pinggir jalan. Nyawamu tidak selamat. Kau hanya
mengulang memoriku selama hidup.”
Aku berlari pada bunda, “Bunda,
tolong Kayla bun.” Tangisku bercampur dengan tangisan bunda. Ia tidak menatap
ke arahku sama sekali. Ini membuktikan semua yang dikatakan oleh sosok itu
benar. Aku meraung mencakar wajahku, jatuh berlutut di atas kerikil tajam dan
tidak merasakan apa-apa ketika kerikil itu menyentuh lututku.
Sosok itu mengambil kesempatan itu
untuk menuntunku ke arah cahaya yang sedang menunggu mereka di ujung jalan
sana. Aku tertatih dan terisak dalam pelukan sosok itu. Ketika kami berdua
telah sampai di gerbang cahaya itu, aku menoleh kebelakang. Kulihat laki-laki
tampan itu tetap berdiri di hadapan ibuku.
“Kenapa ia tidak ikut?” aku bertanya
Sosok disampingku itu hanya
tersenyum. Menuntunku ke gerbang cahaya yang hampir menutup.
“Kenapa tidak di jawab?” Nada suara
kutinggikan. Aku pun mencoba melepaskan pelukannya dari bahuku.
Saat gerbang cahaya hendak menutup
sempurna, sosok di sampingku tertawa. Tawa mengerikan yang tidak pernah aku
bayangkan sebelumnya. Aku kaget dan berontak ingin pergi.
Tapi yang sempat kulihat adalah
laki-laki itu bertranformasi menjadi sosok gadis remaja dengan seragam sekolah
yang dulu sering aku gunakan.
Gerbang cahaya hanya tersisa sedikit lagi,
tapi aku sempat melihat dia memeluk ibuku dan menghilang dari balik pagar.
Gerbang tertutup sempurna.
Aku berpaling pada sosok disampingku.
Matanya berubah merah dan tangannya yang daritadi menahanku ia lepaskan.
Tawanya bergema di dalam ruang hampa tanpa pijakan ini. Aku dan dia
melayang-layang tidak tentu arah. Aura dingin menyelimuti aku yang sudah kalah.
“Ia masih punya tugas untuk membawa
adik-adikmu yang lain kemari.”
Sekali lagi ia tertawa.
Tawa yang tidak pernah aku lupakan
sampai aku mati.
***
END
Komentar
Posting Komentar
Tinggalkan kesanmu ketika berkunjung