cerita
galauku ini terjadi beberapa tahun lalu. Mungkin ini seharusnya gak segalau
yang aku kira. Atau mungkin kalau aku cerita ke orang-orang, mereka akan
menganggap aku lebay karena aku udah bersikap galau berlebihan. Karena setelah
aku pikir-pikir lagi, tingkat galauku waktu itu bisa bikin aku overdosis karena
rindu, dan penyebab galauku adalah cinta pertamaku.
Yap cinta
pertama.
Dimana aku
masih perlu belajar untuk mencintai, dicintai dan saat aku haus akan kedua hal
itu, terjadilah tingkat galauku yang bikin overdosis.
Kenapa aku
menyebutnya overdosis?
Karena galau
ini, aku berhasil gak bisa tidur selama beberapa hari alias Insomia Mendadak. Sama
mendadaknya seperti aku harus kehilangan dia saat aku sudah berada di puncak
merindukannya dia begitu hebat. Merindukan dia siang malam dan merindukan
setiap senyum dan lirikan matanya. Aku merindukan itu semua ....
Dan alasan
yang sama pula, aku Insomia.
Di dalam
kamar, aku selalu melirik jam digital yang cahayanya berpendar dalam gelap dan
selalu menunjukan 4 am. Aku menggeretak kesal karena hal tersebut. Bayangkan saja,
ini adalah hari ke-4 aku tidak tidur di malam hari. Belum lagi jadwal kuliah
yang lagi padat-padatnya menuntut aku tidak bisa istirahat siang. Anehnya
kekuatan fisikku tidak melemah sedikitpun. Aku masih sanggup naik turun tangga
dan mengejar dosen demi menggapai sebuah nilai. Meski fisikku sepertinya tidak
berpengaruh, tapi wajahku terlihat jelas bahwa aku tidak baik-baik saja.
Kantong
mata, lingkaran gelap yang aku tutupi dengan foundation yang ternyata gagal
membuat semua mata teman-teman sekelasku mempertanyakan apa yang terjadi.
Kisahku
tidak ada yang istimewa. Aku pacaran dengannya (aku sebut aja Ryan) selama 3
bulan. Ternyata ia meninggalkan aku untuk cewek lain. Cerita pasaran yang
membuat aku muntah mengutuki ke-lebay-anku saat menangisinya. BEGO!!
Tapi
perasaan galau itu masih berbekas memang. Sesuatu yang pertama kali, pasti akan
membekas meski aku gak pengen ingat sama sekali.
Pukul 4 am
aku berguling-guling di bawah selimut berusaha aku bisa memejamkan mata. Setiap
kali aku memejamkan mata, bayangan Ryan makin jelas bisa aku lihat. Rambutnya
yang selalu ia biarkan berantakan, kaos usang yang menutupi tubuhnya yang
atletis, dan senyum miring yang membuat kesan angkuh pada dirinya, selalu
berhasil terbayang saat aku memejamkan mata.
Saat aku
membuka mata, aku hanya bisa meratapi kemalangan aku dan menangisi kerinduan
yang udah berada pada tahap akhir. Dimana harus ditumpahkan dengan menemui
orangnya langsung.
Mustahil.
Jangankan untuk
bertemu. Sekedar membalas pesan singkatku saja ia tidak sudi lagi, seakan-akan
aku yang telah berbuat salah padanya, padahal jelas-jelas dia yang udah
mempermainkan aku.
Lihat kan? Bagaimana
BEGO-nya aku. Jelas dia yang salah, malah aku mengemis cinta padanya.
Lalu malam
semakin sunyi. Sunyi sekali hingga indra pendengaranku berlipat-lipas menjadi
super sensitive. Detak jantungku bercampur dengan detak jam yang teratur.
Seperti lagu nina bobo yang aku harap akan mengatarkan aku tidur. Ketika aku
buka jendela kamar dan menatap langit gelap gulita tanpa bulan, aku bisa
melihatnya di langit seolah dia terbang kesana.
Selera makanku
hilang. Bobotku turun tapi itu tidak mempengaruhi aktivitasku. Seolah-seolah
kisah galau ini sudah menjadi bahan bakar untuk aku bisa bertahan menghadapi
langit runtuh. Ucapan selamat tinggal darinya beberapa waktu lalu lebih berbaya
dari obat terlarang.
Saat pagi
tiba, rasanya aku ingin mati saja bersama malam. Jantungku berdetak kencang
karena masih menjalani hari tapi tanpa dirinya di dekatku . Aku berusaha untuk
menghapusnya dari memoriku, tapi sungguhlah sulit.
Aku tidak
bisa menutupi kesedihan ini dari siapapun meski aku ingin. Karena sebaik apapun
aku tutupi, mereka tahu. Sahabat-sahabatku tahu meski aku tidak bercerita.
Mereka tidak memaksa. Aku bersyukur, karena aku ingin tenggelam dalam kesedihan
ini hingga aku bosa untuk bergalau.
Lalu
pertanyaan selanjutnya adalah ....
What should
I do?
Waktu yang
menjawab. Sekarang aku bebas dari masa galau dan bebas dari kenangannya. Meski sesak-sesak
itu ada tapi aku syukuri semenjak itu aku tidak pernah insomia lagi, meski
kadang-kadang aku pengen balik bisa insomia supaya bisa mengerjakan tugas
kuliah yang numpuknya setinggi gunung Fuji di Jepang ....
Insomia oh
Insomia ....
Kapok deh
galau.
Komentar
Posting Komentar
Tinggalkan kesanmu ketika berkunjung