Semua Orang Punya Masalah,
Tapi Tidak Semua Orang Mampu Menyelesaikannya
Judul Buku: Damn! It’s You!
Penulis: Pelangi Tri Saki
Penerbit: PT Gramedia Pustaka
Utama
Cetakan ke-1: Januari 2017
Tebal: 232 halaman
ISBN: 978-602-03-3661-9
Tidak dipungkiri, banyak sekali
penulis-penulis muda yang terlahir dari akun kepenulisan, wattpad. Salah
satunya adalah karya pertama Pelangi Tri Saki diterbitkan Gramedia dengan judul
Damn! It’s You yang merupakan seri kedua ‘You’. Tulisan yang khas remaja dan
banyak menyelipkan percakapan lucu khas anak-anak SMA membuat karyanya banyak
dikenal. Setelah sukses dengan seri pertama Hey! You! Diharapkan novel kedua
ini akan mengikuti jejak terdahulunya.
Dengan mengambil kehidupan SMA,
Saki mengajak pembaca untuk mengenal pasangan lucu yang kelakukannya berhasil
mengocok perut pembaca. Nigi, seorang cewek yang terkesan tomboy dan cerewet
tidak sengaja bertemu dengan Saba, cowok dengan muka datar tanpa ekspresi sama
sekali. Diperparah Saba ternyata cowok yang sangat irit bicara. Membuat Nigi
sebal setiap kali Saba merespon pertanyaannya. Dipertemuan mereka yang ketiga,
Saba menantang Nigi untuk bermain basket one on one, dalam waktu sepuluh menit
jika Nigi berhasil memasukan bola basket ke ring, Saba akan minta maaf.
Sebaliknya, jika Nigi kalah maka Nigi harus menuruti satu permintaan Saba.
Sepuluh menit kemudian Nigi kalah, dan betapa tercengangnya Nigi saat Saba
meminta Nigi untuk pindah ke SMA Altanta, SMA dimana Saba bersekolah. Jelas
Nigi menolak. Pindah sekolah di saat ia mau naik kelas dua belas dan saat masih
menjabat ketua osis di SMA Nusantara bukanlah hal gampang. Nigi menolak hasil
taruhan itu. Tapi siapa sangka, ketika keesokan harinya Nigi dipanggil ke ruang
kepala sekolah untuk menandatangai surat kepindahaanya. Lebih mengejutkannya
lagi, ternyata Papi Nigi yang mengajukan surat pindah sekolah untuk Nigi.
“Nigi,
Papi tidak pernah ajari kamu untuk bertaruh. Jadi Papi ingin menghukum kamu
dengan membiarkan kamu menjalani konsekuensinya.” – Papi Nigi : hal 55
Novel teenlit dengan tema benci
jadi cinta atau kucing dan tikus seperti ini selalu berhasil menarik remaja
manapun. Ditambah gaya cerita yang khas dan diselipi kebanyolan anak-anak SMA
menjadi daya tarik sendiri. Bahkan aku juga tidak memungkiri, mambaca karya Saki
kurang lebih mengingatkan dengan masa-masa SMA-ku. Seolah-olah dibawa nostalgia
ke masa-masa muda yang penuh canda itu. Saki menciptakan karakter Saba dengan
baik sekali, terlahir sebagai yatim piatu membuatnya memiliki sifat dingin,
irit bicara, dan sok kemisteriusannya itu bikin Nigi kewalahan untuk memahami
maksud Saba. Meski begitu, salah satu sifat Saba yang aku suka, dia gampang
sekali menunjukan isi hatinya pada Nigi. Karakter Nigi, itu bawel menjurus
cerewet. Dan langsung bungkam kalau sudah berhadapan dengan Saba. Tidak lupa
juga, sepanjang jalannya novel aku disuguhi dialog-dialog lucu ala Saba-Nigi.
Dialog yang bikin gemas dengan pasangan remaja ini.
“Nggak
apa-apa kalau lo nggak ngaku. Yang penting lo nggak mengelak kalau lo sayang
gue.” – Saba : hal 155
Aku suka dengan tulisan Saki
yang ringan, tidak bikin mumet tapi inti cerita benar-benar mengeksploitasi
kelucuan Saba-Nigi. Bayangkan saja, Nigi yang berkeras tidak mau pindah sekolah karena taruhan konyol itu,
akhirnya harus pindah sekolah. Entah kuasa apa yang dimiliki Saba hingga mampu
meluluhkan Papi Nigi untuk memindahkan putrinya ke SMA Altanta. Saba puas, tapi
imbalannya ia harus menerima muka jutek Nigi setiap hari.
Ketika aku sedang menikmati
kelucuan dua remaja ini, aku harus main tebak-tebakan konflik apa yang disimpan
penulis. Saki menyelipkan konflik keluarga di dalam novel ini. Konflik antara
Saba dan Kakak kandungnya, Arya. Ketidakharmonisan itu terjadi karena beberapa
tahun lalu pasca Saba lahir. Terutama pihak dari keluarga ayahnya seolah
menjauh dari Saba. Dan keputusan untuk menitipkan Saba pada Oma ditemani Rei
sepupu Saba yang sangat sayang padanya. Bersyukurlah kepada konflik ini, Nigi
mulai penasaran dan bertanya-tanya dalam hatinya tentang Saba (Nigi gengsi
untuk menanyakan duluan) belum lagi Papinya Nigi sepertinya tidak asing dengan
nama Sabaran Ardhan itu. Pertanyaan-pertanyaan yang ditimbulkan dalam novel ini
berhasil menggugah rasa ingin tahu aku untuk menyimak novel ini sampai habis.
Dan Saki berhasil dengan baik menyelesaikan novel ini.
“Lo
nggak bisa bilang Saba nyembunyiin sesuatu kalau dari awal dia memang nggak
berniat membukanya ke orang lain, Gi. Itu haknya dan nggak ada hubungannya sama
lo. Atau lo sekarang merasa dia ada hubungannya sama lo, jadi lo merasa berhak
tahu?” – Aura : hal 79
Meskipun begitu, karena ini
level teenlit dan gaya bahasa anak remaja, membuat konflik dalam kapasitas
dewasa itu terlihat seperti terlalu dibuat-buat. Begitu banyak lubang besar
yang ketika mendekati ending. Ada tanda tanya yang membuat aku makin penasaran.
Ditambah emosi para tokoh tidak bisa aku rasakan ketika sudah tiba pada bagian
ini. Tapi memang aku tidak mengharapkan konflik ini begitu berat, karena ini
bacaan remaja dan tetap pada posisinya bacaan remaja. Meski begitu Saki
menyiapkan penyelesaian konflik dengan cukup bagus. Cukup dewasa untuk diambil
hikmahnya.
Apa yang aku dapat dari novel
ini lebih dari sekedar hiburan. Saki mengajak kita untuk belajar bertanggung
jawab dan memahami betul konsekuensi apa yang diterima ketika sudah mengucapkan
janji. Saki juga mengajarkan masalah itu harus diselesaikan, baik itu
melibatkan orang lain atau tidak. Jangan menolak ketika ada orang luar yang
menawarkan untuk membantu, karena kekerasan kepala dan keegosian hanya membuat
masalah tidak pernah selesai. Apalagi menyangkut masalah dengan keluarga.
“Selalu
ada hari esok untuk memulai hal yang lebih baik. Tapi sebaiknya berhenti
toleransi untuk hal yang menjadikan sesuatu itu jauh lebih buruk.” –Noel : hal
30
Komentar
Posting Komentar
Tinggalkan kesanmu ketika berkunjung