Langsung ke konten utama

8 Tahun Peringatan Gempa dan Tsunami Aceh



Aku tidak pernah menyangka kejadian Gempa dan Tsunami Aceh 8 tahun lalu masih menyisakan kesedihan bagi mereka yang kehilangan kerabat dan keluarganya. Aku tidak ingin berpura-pura mengerti perasaan mereka, karena Alhamdullah keluarga ku selamat semua dikarenakan daerah tempatku tinggal jauh dari jangkauan air laut yang entah mengapa saat itu begitu ganas menghantam kota Serambi Mekkah ku tercinta. Aku takut membicarakan masalah yang sensitif ini dengan sahabatku, karena ia merupakan salah satu korban keganasan tsunami - ya dia harus kehilangan kedua orangtuanya disaat dia masih membutuhkan dukungan mereka. Aku tidak tau harus berkata apa. Aku tidak mengerti perasaan apa yang ia rasakan karena aku tidak mengalami kehilangan sebesar itu. Apa yang harus aku katakan untuk menghiburnya? Hanya sekedar kata-kata tidak dapat mengembalikan apa yang telah hilang. Jadi apa yang dapat aku lakukan? Aku hanya dapat memberi dukungan ketika ia membutuhkan.

Aku tidak ingin bercerita banyak tentang teman-temanku yang mengalami kehilangan begitu parah. Luka 8 tahun yang lalu biarkan tetap membekas, namun aku tidak ingin membukanya kembali. Aku hanya ingin berbagi sedikit kisah 8 tahun lalu, sekedar ingin mengingatkan diriku sendiri bahwa Allah Maha berkehendak dan biarkan gempa dan tsunami menjadi salah satu cara-Nya agar aku mengingat-Nya setiap saat.

Aku berumur 14 tahun saat peristiwa itu terjadi, hari minggu tanggal 26.12.2004. Aku sedang mandi dan tinggal melakukan tahap terakhir dari ritual mandi yaitu membilas sabun yang tersisa dan saat itu lah aku merasakan seakan-akan aku bergoyang – gempa. Awalnya pelan namun lama dan aku tidak terlalu memburu kegiatan membilas karena gempa seperti ini bukanlah hal yang baru di Aceh. Tapi aku salah, tiba-tiba gempa mulai kencang dan air bak di kamar mandiku sampai meluap akibat guncangan itu. Bisa bayangkan perasaan takut yang menjalari ujung kakiku,hampir tidak bisa bergerak dari kamar mandi sedangkan mama berteriak-teriak menyuruh aku keluar seakan-akan takut aku tertimpa reruntuhan kamar mandi. Ntah kekuatan dan kesadaran apa yang menghampiri aku sehingga aku bisa mengenakan handuk dan melapisnya dengan kaos lengan pendekku dengan tangan begetar aku mencoba membuka kunci kamar mandi – gugup – aku panik dan begitu aku keluar dari kamar mandi aku merasakan tangan ku ditarik dengan kasar oleh sesorang – ternyata mamaku yang menarik tangan ku agar aku cepat keluar dari rumah. Dan pemandangan mengagetkan terbentang didepan mataku melihat rumah bergoyang seakan ada tangan raksasa yang mencoba menarik rumah itu dari akarnya. Ucapan zikir keluar dari bibirku, aku begitu takut dan begitu lemah melihat itu. “Ya Allah, apakah ini kiamat yang Engkau janjikan?.” Ucapku dalam hati. Kakiku tidak sanggup menopang rasa takutku akhirnya aku terduduk ditanah tak peduli tanah yang mengotori tubuhku yang baru selasai mandi. Aku melihat tetanggaku melakukan hal yang sama denganku, aku juga melihat anak-anak kecil menangis meraung-raung ketakutan karena gempa. Bahkan orang dewasa pun menangis tersedu-sedu. Disitu lah aku sadar bahwa ketika musibah terjadi disitu pula hamba-hamba Allah – termasuk aku mau mengingat Allah.

Siksaan batin itu berlansung selama 10 menit dan bagiku terasa bagaikan 1 jam. Aku tidak tahu apa yang terjadi dengan pikiranku, aku tidak menangis dan pikiran ku sangat jernih saat gempa menguncang kotaku. Hanya ketakutan yang aku rasa, bukan kematian yang aku takutkan. Tapi dosa-dosa yang telah aku lakukan dan aku takut tidak bisa membayarnya. Gempa berhenti dan aku dengan kesadaran penuh bangun dari tempat dudukku langsung masuk ke rumah dan mengenakan pakain yang dapat menutupi auratku. Aku tidak peduli teriakan mama ketika aku nekat melakukan hal tersebut, yang ada dipikiranku “Aku tidak ingin mati dengan tubuh telanjang, setidaknya aku berpakaian.” Setelah berpakain aku membantu mama bangun dari tanah dan membimbingnya duduk di kursi di teras rumahku. Keberanian apa yang menghampiri aku lari masuk ke rumah dan mengambil minuman untuk mamaku, aku tidak tega melihat mamaku seperti itu. Seperti kehilangan ruhnya, hanya terdiam dan menantap kosong hadapannya. Tapi Allah belum puas menguji kami, beberapa menit kemudia aku melihat segerombolan orang lari di jalan yang hanya berjarak sekitar 5 meter dari rumahku.

“Air lauk naik, cepat lari. Air laut naik cepat lari.” Laki-laki itu berlari seperti orang gila. Aku pikir hanya air laut yang naik pasang dan itu sering terjadi namun tidak pernah sampai mengenai rumah, bahkan mereka yang tinggal di tepi laut tidak akan terkena bila air laut pasang, tapi kenapa laki-laki itu seperti orang gila? Dan aku mendapat jawabannya, karena daerah tempat tinggal ku dataran tinggi dan jauh dari laut, maka berbondong-bondong sepeda motor, mobil, sepeda dan pejalan kaki berlari. Dalam hitungan menit jalanan didepan rumahku berubah menjadi lautan manusia, yang berusaha melarikan diri ke daerah yang lebih tinggi. Nah aku, apa yang aku lakukan?  Tidak ada – ya tidak ada. Aku hanya duduk terdiam dengan rasa panik yang mulai menerjang ku lagi. Aku harus kuat demi menenangkan mama dan kakakku. Aku belum bercerita kalau kakaku mengalami gangguan mental dari lahir sehingga peristiwa ini sangat mempengaruhinya, dan aku mempunyai kewajiban menenangkan mama dan kakakku – tidak gampang. Bila kamu diposisiku kamu akan meraskan hal yang sama, memperhatikan orang berlari seperti orang gila demi menjauhi air laut.

Perkataan mereka samar-samar terdengar olehku, mereka mengatakan air laut setinggi batang pohon kelapa menerjang kota. Seluruh kota terhantam air laut, dan sangat mustahil dapat bertahan hidup bila terkena terjangannya, kecuali Allah berkendak lain. Tapi peristiwa ini menampakan sisi lain dari manusia, mereka membuka topeng kebaikan yang selalu terpasang di wajah. Ketika orang sedang mengalami kesusahan, orang kaya yang bermobil dengan teganya mengabaikan permintaan tolong orang yang ingin menumpang mobilnya. Ada saja orang-orang yang mengambil kesempatan disaat seperti ini – sangat tidak bermoral. “Ya Allah, bukannya berbuat kebaikan mereka malah mengabaikan kesempatan untuk berbuat baik ketika saat-saat seperti ini.” Ucapku dalam hati

Banjir manusia belum juga berhenti, hal ini berlansung sampai sore sekitar pukul 17.00 WIB. Bayangkan dari pagi dan sampai sore baru berhenti aliran manusia di depan rumahku. Aku tidak tahu keadaan pusat kota Banda Aceh, yang aku tahu mayat-mayat bergelimpangan dengan tubuh bergelembung, sungat-sungai dipenuhi tumpukan mayat. Itu yang aku dengar dari saksi mata yang sempat melihat efek gempa dan tsunami.  kedua orangtua ku yang sangat penasaran dengan kondisi kota Banda Aceh memutuskan untuk melihat-lihat ke arah pusat kota. Aku tidak diberi izin untuk ikut, padahal aku sangat ingin melihat. Namun peritah orangtua adalah mutlak dan aku harus menurut.

Sepulang orangtua ku dari kota, mamaku seakan-akan melihat hantu. Pucat dan tidak bertenaga, dan sebelum aku menayakan ada apa mamaku menjelaskan dengan panjang lebar yang ada di kota. Aku cuma bisa menggambarkan kalau keadaan kota Banda Aceh saat itu tidak lebih dari TUMPUKAN MAYAT. Sungguh sangat menyedihkan, dan yang paling miris adalah jenazah wanita dewasa rata-rata telanjang semua sedangkan jenazah anak-anak semuanya berpakaian dengan utuh. "Subhanallah" ucapku dalam hati. Pertanda apakah itu??

Penderitaan kami tidak hanya sampai distu, bantuan untuk kota Banda Aceh telat, karena kota di luar Nanggroe Aceh Darussalam tidak menyangka  efek gempa dan tsunami begitu hebatnya sehingga aku dan keluarga ku harus mengirit-irit makanan. Sungguh miris bukan...?? Tidak hanya itu, pedagang-pedangan mulai bertindak keterlaluan, mereka yang memiliki stok makanan lebih menjualnya dengan harga gila-gilaan. bayangkan harga mie instan mencapai 5ribu/bungkus. Semoga Allah mengampuni mereka, namun kebaikan hati terbuka untuk beberapa pedagang. Bahkan mereka tidak segan membagi dengan tetangganya, walaupun  untuk orang jauh dia tetap menjual dengan harga normal. Mulia kan...?? Niat baik dan jahat hanya Allah yang akan membalas.

Cukup sekian aja ceritaku tentang gempa dan tsunami 8 tahun lalu, aku hanya ingin membagi kisah tentang kuasa Allah terhadap bumi ini. Betapa mudahnya Allah membalik air laut yang biasanya bersahabat menjadi pencabut nyawa. Semoga kisah ini membantu kita semua untuk lebih bertakwa kepada-Nya. 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

[SINOPSIS] Spring In London - Ilana Tan

Judul : Spring In London Pengarang : Ilana Tan Penerbit : Gramedia Pustaka Utama Jumlah Halaman : 238 halaman  Cetakan : kesepuluh Agustus 2011 Naomi menelan ludah dengan susah payah. Air mata mulai membayang dimatanya.  “Sekarang kau tidak akan bisa lagi memandang ku tanpa memikirkan apa yang pernah terjadi antara aku dan kakakmu.” “Tidak ... itu tidak benar.” “Dan aku tidak bisa memandangmu tanpa teringat pada kakakmu dan apa yang pernah dilakukannya padaku.” Kata-kata yang diucapkan dengan tajam dan jelas itu menghujam jantung Danny. Dadanya terasa sakit dan sekujur tubuhnya lumpuh. Ia menantap Naomi tanpa berkedip, tanpa bernapas. Ia membuka mulut, namun tidak ada suara yang keluar. Naomi Ishida adalah gadis keturunan Indonesia – Jepang, dan dia merupakan saudara kembar Keiko Ishida (baca Winter in Tokyo). Berbeda dengan Keiko, Naomi memilih karir sebagai seorang model dan menetap di London. Karirnya sebagai model sangat sukses sehingga setiap pemotret

[SINOPSIS] Detektif Conan 70

Dapat juga komik kesukaanku ini di toko buku, padahal jatah terbitnya itu tanggal 30 november kemarin, tapi di toko buku Banda Aceh baru adanya sekarang. Tapi peduli amat lah, amat aja gk begitu peduli, nah Lho ...!!?? Tapi whatever lah, yang pasti komik ini udah ada ditangan, jadi kenapa harus pusing (^0^). Dan seperti biasa aku juga mau ngeringkas sedikit isi komik  Detektif Conan 70, check it out >>>

[SINOPSIS] Winter In Tokyo - Ilana Tan

Judul : Winter In Tokyo Pengarang : Ilana Tan  Penerbit : Gramedia Pustaka Utama Tahun Terbit : 2011 (Cetakan keenam belas) Jumlah Halaman : 313 Ishida Keiko adalah gadis manis blasteran Jepang-Indonesia dan pekerjaannya sehari-hari adalah sebagai pegawai perpustakaan umum di Shinjuku. Keiko tinggal di apartemen sederhana dua tingkat yang terletak di pinggir kota Tokyo dan setiap lantainya memilki dua apatemen yang saling berhadapan. Keiko sendiri menempati apartemen dengan nomor 202 dilantai dua. Di lantai dua tidak ada penghuni lain selain Keiko, sudah lima tahun penghuni apartemen di seberang apartemen Keiko pindah ke Kota Paris. Sampai suatu hari ada penyewa baru yang menempati apartemen dengan nomor 201, yang tepat berseberangan dengan apartemen Keiko. Dia adalah pemuda bernama Nishimura Kazuto. Kazuto adalah pria keturunan Jepang yang sudah lama tinggal di New York, ia juga merupakan seorang fotografer terkenal di New York. Alasan kepulangannya ke Jepang unt