Aku tidak tahan untuk tidak
menceritakan kisah ini. Kisah cinta yang begitu berbahaya sekaligus menyiksa.
Cinta terlarang yang seharusnya tidak kusentuh atau kulirik bahkan dengan ekor
mataku, sekalipun. Cinta terlarang yang endingnya lebih terlihat jelas daripada
bulan sabit di langit malam yang mendung. Cinta terlarang yang terus membayangi
hingga rasa bersalah menyusup ke dalam mimpi-mimpiku.
Oh Tuhan, tolong aku untuk
memusnahkan cinta ini. Seandainya cinta adalah sesuatu yang murni di dunia ini,
tolong jadikan pengecualian untuk kasusku. Aku tidak tahan hanya mampu
memandanginya, saling bertukar senyum, melontarkan kata tanpa sekalipun
menyentuhnya.
Menyentuh wajahnya yang kekanakan.
Menyentuh rambutnya yang basah oleh keringat. Menyentuh lengannya yang berotot.
Dan menyentuh mata penuh cinta yang selalu ia lemparkan kepadaku.
Dan kali ini, setelah hampir tiga
bulan lamanya aku memiliki perasaan asing ini, aku ingin menceritakan sebuah
kisah sederhana yang memustahilkan aku untuk melupakannya. Meski keinginan itu
melebehi impianku untuk jalan-jalan ke Inggris. Rasanya impian jalan-jalan ke
Inggris tidak akan seberdosa mengingat setiap jejak tawa dan binar mata itu
dalam kehidupanku.
Aku sungguh tidak sanggup.
Aku ingin menjerit saat tawa itu ia
lemparkan ke gadis lain.
Aku perih luar biasa ketika matanya
mengerling manja pada gadis lain.
Aku bingung ketika wajahnya
menunjukan kegelisahan dan enggan menatapku
seperti biasa ia lakukan.
Aku marah saat semua itu ia lakukan
hanya untuk menghukumku. Menghukum keberanianku untuk jatuh cinta pada dirinya.
Padahal aku tidak tahu, bahwa ia
sama terlukanya denganku.
Cinta yang hanya membuat dua pihak
terluka parah, bukanlah cinta namanya.
***
Seperti biasa aku menemuinya lagi.
Bukan secara khusus menemuinya. Kegiatan ini rutin aku lakukan dua atau tiga
kali seminggu mengantar ibuku mengecek para pekerjanya di pabrik furniture kayu
jati. Usaha yang telah di rintis oleh kakek di kembangkan oleh Ibuku. Ayahku
memilih untuk tetap bekerja sebagai pegawai kantoran. Membuktikan dirinya bahwa
ia adalahpencari nafkah di keluarga kami.
Biasanya, kakak yang mengantar ibu
ke pabrik. Tapi tiga bulan teakhir, selalu aku yang mengantar ibu. Dan saat
itulah aku berjumpa dengannya.
Tinggi semampai. Dada bidang. Kulit
kecoklatan. Perut rata. Otot bisep yang menyembul dari lengan-lengannya ketika
ia mengangkat barang berat. Membuat aku meneguk ludah berkali-kali.
Seperti kisah cinta pada umumnya,
tidak ada ketertarikan saat mataku bertemu pandang matanya. Sorot jenaka yang terpancar
dari sudut-sudut bibirnya ketika menggoda ibuku, secara harfiah menulari aku
yang selalu memasang wajah dingin tanpa ekspresi. Entah wajah siapa yang aku
warisi. Tapi kerasnya wajahku, berhasil mengendur saat sebulan lebih aku terus
berjumpa dengannya.
Aku tidak pernah mengobrol
dengannya. Latar belakang kehidupannya, aku ketahui dari perbincangan yang
sering ia lakukan pada ibu. Atau dari beberapa rekan kerjanya. Secara garis
besar, ia hanya menamatkan SMA dan memutuskan kuliah. Memiliki seorang kakak
yang sudah menikah dan memilih tinggal dengan kakaknya. Aku tidak tahu apa yang
terjadi pada orangtuanya. Aku tidak pernah bertanya dan tidak ada seorang pun
yang mencoba menyinggung masalah itu lebih jauh.
Setiap kali aku meliriknya, aku
menangkap basah ia sedang menatapku, dan bukannya berpaling, ia malah
tersenyum. Seolah ia sengaja membuatnya tertangkap basah memandangiku agar ia
bisa melempar senyumnya yang super menawan. Aku tidak bercanda ketika
mengatakan senyumnya menawan. Karena senyumnya itu membuat seluruh wajahnya
terlihat dua kali lebih menarik daripada wajah seriusnya.
Lalu aku sadari bahwa perasaan ini
cinta ketika seorang pekerja, iseng memperhatikan tingkah laku kami berdua yang
saling berdiam diri tapi memancarkan rasa ingin disentuh oleh perasaan cinta.
Dan kalimatnya saat itu berhasil menyadarkan aku, bahwa selama ini pandangan
matanya, senyum yang ia berikan pada ibu, dan tawa bergema saat leluconnya
mendapat tanggapan, semua itu di tujukan kepadaku.
Tapi aku tidak pernah menyangka,
kalimat pekerja yang menyadarkan aku bahwa dia mencintaiku, adalah akhir
segalanya.
Akhir dari penantiannya
Dan awal mula bagi penderitaanku.
***
Sejak kalimat itu terucap, kalimat
yang menjelaskan statusku sebenarnya, seluruh pandangan, tawa dan senyuman itu
berganti dengan rasa rindu yang menyakitkan. Setiap kali aku melihatnya, ada
gurat kecewa di sana. Gurat kesedihan yang terpancar. Dan ada sikap berlebihan
saat ia melihat gadis cantik melenggang ke pabrik untuk memesan model
furniture.
Aku menderita melihat gurat itu.
Menderita bahwa aku lah penyebabnya. Dan lebih menderita lagi saat aku tidak
bisa melakukan apa pun untuk memperbaiki keadaaan.
Penderitaan ini tidak kunjung
berakhir dengan berubah genitnya dia kepada gadis-gadis. Aku tahu ia mencoba
move on, mencoba membuktikan bahwa ia bisa mendapatkan cinta lain, membuktikan
kalau dia adalah seseorang yang pantas untuk di cintai. Seseorang dengan
pendidikan rendah, pekerja kasar berhak mendapatkan cinta dari wanita yang ia
pilih. Ia membuktikan itu sebagai gantinya melukai aku.
Lambat laun aku mulai terbiasa
dengan ritme penderitaan ini. Terbiasa melihat kosongnya mata itu saat
memandangiku. Aku pun sudah mampu mengatasi rasa cemburu yang timbul karena
sikap sok tebar pesonanya itu.
Tapi hari ini, mengubah segalanya.
Saat aku mengantar ibu untuk mengecek pengiriman satu set meja rias yang
berukir indah, aku tidak melihatnya dimana-mana. Rupanya ia sedang makan siang
(aku dengar dari salah seorang pekerja) dan aku tidak menunggu kedatangannya.
Toh untuk apa menunggu sebuah cinta yang jelas-jelas tidak bisa bersatu.
Ketika ibu hampir menyelesaikan
urusannya, ia tiba dengan motor bututnya yang bersuara sumbang. Ia mengenakan
jaket dengan resleting terkancing hingga ke lehernya. Ia memberikan senyum
ramah pada ibuku, tapi mengabaikan aku (seperti selama ini ia lakukan) ia
berjalan ke arah “meja kerja”-nya dan membuka jaketnya. Matanya melirikku saat
ia membuka jaket tersebut.
Betapa kagetnya aku saat melihat di
balik jaket itu bukanlah kaos oblong yang biasa mencetak tubuhnya ketika
berkeringat, melainkan kaos singlet yang menonjolkan dan menegaskan otot
lengan, selangka yang menonjol dan otot dada yang menyembul dari kaos hitam
yang ia gunakan.
Jantungku berdebar begitu kencang.
Aku memalingkan wajah secepat aku bisa. Aku tidak tahan melihat tubuh itu
berlama-lama di depanku. Melenggang sambil menenteng kayu di pundaknya.
Aku tidak sanggup.
Sungguh tidak sanggup melihat godaan
begitu indah.
Berkali-kali aku mencoba memalingkan
wajahku. Bagaikan magnet, mataku terus terpaku pada tubuh indah itu. Terpaku
pada pandangan matanya yang menyorotkan bahwa aku menyesal tidak memilihnya.
Aku menyadari, usahaku untuk mengacuhkanya hanya sebuah kesia-siaan. Karena
hari ini, timbul perasaan aneh yang begitu kuat hingga aku melupakan statusku
sebenarnya.
Aku mencintainya.
Aku memujanya.
Aku mendambanya.
Dan aku menginginkan dirinya.
Sayangnya, semua keinginan itu
tetaplah kemustahilan. Seberapa aku berdoa, bersujud, bersimpuh, dan
bertahajud, aku tidak akan bisa memilihnya tanpa mengorbankan apa yang telah
aku miliki.
Aku tidak bisa mengorbankan suami
dan anakku untuk demi memuaskan cinta yang begitu terlarang padanya.
Senandainya aku punya satu
permintaan, aku tidak akan meminta jalan-jalan ke inggris atau negara belahan
Eropa manapun.
Aku hanya ingin Tuhan, menjaga cinta
ini tetap menjadi rahasia kecilku dan sanggup tegar menjalani kehidupan
sempurna yang sudah aku bangun sejak lama.
Bersama suamiku dan anakku.
Hanya mereka harta karunku.
Duniaku.
Dan surgaku ...
END
"Selamat siang Bos 😃
BalasHapusMohon maaf mengganggu bos ,
apa kabar nih bos kami dari Agen365
buruan gabung bersama kami,aman dan terpercaya
ayuk... daftar, main dan menangkan
Silahkan di add contact kami ya bos :)
Line : agen365
WA : +85587781483
Wechat : agen365
terimakasih bos ditunggu loh bos kedatangannya di web kami kembali bos :)"