Aku
menjatuhkan kepalaku yang terasa berat di atas meja. Menekannya perlahan-lahan
dengan harapan sakit kepalaku akan hilang. Biasanya cara ini berhasil. Tapi
entah kenapa kali ini rasa sakitnya makin parah.
Sakit
kepala ini aku dapatkan karena laki-laki itu, Rudi Rahardika. Laki-laki yang
berani berselingkuh dengan sahabatku sendiri. Masalahnya adalah, perasaanku
pasti akan lebih membaik andaikan saja aku bisa menangis seperti gadis-gadis
pada umumnya ketika mereka patah hati. Nyatanya aku tidak bisa menangis.
Sebagai gantinya aku harus menanggung rasa sakit kepala ini.
Entah
ku anggap ini sebagai kutukan atau karunia.
Tok
Tok
Tok
Aku
menengadahkan kepalaku −dagu masih menempel di meja− dan melihat sosok laki-laki
muda dengan setelan jas kantoran. Ia rupanya mengetuk mejaku.
“Apa?”
Tanyaku ketus.
Tetap
dengan wajah ramah, “Boleh aku duduk disini?”
Aku
melihat cafe mungil itu. Lalu aku memberi isyarat mengizinkannya. Dia
mengucapkan terima kasih, dan ada lesung pipi ketika ia tersenyum. Membuatnya
terlihat manis. Secara tidak sadar pun otot wajahku ikut menyunggingkan
senyuman.
Ia
mengeluarkan laptop dan setumpuk kertas yang hampir memenuhi meja.
Cappuccino-ku yang hampir dingin harus ku ungsikan agar tidak menggangu
pekerjaan laki-laki di depanku.
Aneh
ya aku menggunakan kata “mengganggu”, padahal dia yang jelas menumpang meja
denganku.
“Kau
tidak melanjutkan membaca novel itu.”
Masih
di balik laptop dan dan ketak ketik suara jemarinya menandakan ia masih sibuk
dengan pekerjaannya.
“Kepalaku
masih sakit.”
Dia
berhenti dan mengamati wajahku. Aku bisa merasakan wajahku memanas.
“Aku
punya aspirin.” Ia merogoh sakunya dan mengulurkannya kepadaku.
Aku
terima. Kali ini aku harus mengalah pada rasa sakit dan meminum obat.
“Terima
kasih.”
Kesunyian
menjadi benteng diantara kami. Aku melanjutkan membaca novelku, dan ia tetap
melanjutkan pekerjaan kantornya. Sampai akhirnya ia menyusun semua kertas dan
menyusunnya menjadi satu. Di masukannya kedalam tas beserta laptopnya.
“Kau
masih lama disini?” Ia bertanya padaku.
“Mungkin.”
Jawabku tidak pasti.
Ia
memandangiku gelisah. Seperti ada yang ingin ia ucapkan tapi tidak terucap.
“Ada
apa?” Pancingku
“Kalau
kau tidak keberatan, bisakah aku bertemu denganmu lagi?” Ia melanjutkan, “Disini, pada jam yang
sama?”
Tanpa
pikir panjang, aku menjawab oke. Dan entah hanya perasaanku saja, ia keluar
dari cafe dengan wajah cerah.
***
Sepulang
kuliah aku langsung mampir ke cafe itu lagi. Bukan untuk bertemu dengan pria
kemarin. Ini sudah menjadi kebiasaanku untuk menghabiskan waktu sore hariku
yang beharga dengan membaca novel yang baru aku beli. Aku ingin segera
menuntaskan cerita tentang seorang wanita yang menunggu kekasihnya di stasiun
kereta api.
Aku
menghampiri mejaku dan ku lihat ia telah tiba. Bahkan lebih cepat daripada aku.
“Ku
pikir kau tidak serius akan datang lagi.” Ucapku
Ia
tersenyum. Lagi-lagi lesung pipinya sungguh menawan.
“Aku
bawa ini....”
Ia
menyerahkan kantong kertas kepadaku. Aku membuka dan mengamati novel yang masih
disampul plastik.
“Aku
harap kau suka. Karena novel itu best seller di bulan ini.”
Aku
tertawa. Tertawa terbahak-bahak hingga pengunjung cafe melihat ke arahku.
Ia
menjadi gelisah.
“Maaf.
Aku rasa tidak ada yang lucu.” Ucapnya agak tersinggung, aku menghentikan
tawaku dan masih tetap memadangnya.
“Mungkin
kau pikir tidak lucu, tapi menurutku sangat lucu.” Aku melanjutkan ketika
melihat ekspresinya yang bingung, “Tidak ku sangka kau akan memberikan aku
novel.”
Rupanya
ia salah menanggapi ucapanku,
“Maaf
kalau menurutmu memberi hadiah novel itu adalah lolucon bagimu.”
Ia
mengambil novel ditanganku dan memasukan kembali kedalam kantong kertas. Lalu ia
meninggalkan beberapa lembar uang di meja dan pergi.
Ia
marah.
Bukan
maksudku. Tidak ada maksud aku menghina pemberiannya. Tapi ku biarkan saja, toh
bukan urusanku.
Pelayan
yang melihat kejadian barusan menghampiriku.
“Bukan
bermaksud ikut campur. Dia sudah menunggumu selama dua jam disini.”
Dua
jam hanya untuk menyerahkan novel?
Mustahil
bukan. Memangnya aku seperti mahasiswi kekurangan uang yang tidak dapat membeli
novel baru apa.
Aku
mencoba tidak memikirkannya. Tapi semakin tidak ingin aku pikirkan, aku malah
tidak konsentrasi membaca novel di tanganku. Pikiranku terus melayang pada
wajahnya yang kecewa dan tersinggung itu.
Aku
menanyai pelayan yang tadi menghampirku, menanyakan dimana bisa aku menemuinya.
Ia memberiku alamat dan aku segera pergi meninggalkan cafe itu.
***
“Kau
disini rupanya.” Aku menyapa dirinya yang duduk sendirian di warung makan
pinggir jalan.
Ia
mengacuhkanku.
“Boleh
aku minta novelku kembali?”
Ia
berhenti mengunyah dan matanya yang coklat menatap tajam aku.
“Kalau
hanya ingin membuatku malu lagi. Kau salah!”
“Aku
minta maaf. Aku salah. Tapi kau harus tau alasannya kenapa aku tertawa.”
“Kenapa?”
“Karena
novel yang kau berikan itu adalah sequel
dari novel yang sedang aku baca sekarang.”
“Aku
tahu.”
“Kau
tahu?” Aku heran
“Tentu
saja aku tahu. Karena aku berharap gadis yang menunggu di stasiun kereta api
itu mau melupakan kekasihnya yang tidak akan datang dan menerima cinta pria
yang selama ini mencintainya.”
Aku
tertegun mendengarnya.
“Kita
mulai dari awal perkenalan kita. Aku Dara.”
“Jona.
Jona Saputra.”
“Jadi
bisa kembalikan novelku?”
“Tentu.
Kalau kau mau menemaniku disini malam ini.”
Aku
tersenyum, ia pun tersenyum. Rasanya ending dari kisahku akan segera aku
temukan.
***
Komentar
Posting Komentar
Tinggalkan kesanmu ketika berkunjung