Langsung ke konten utama

[Cerpen] Pertemuan

 



Aku menjatuhkan kepalaku yang terasa berat di atas meja. Menekannya perlahan-lahan dengan harapan sakit kepalaku akan hilang. Biasanya cara ini berhasil. Tapi entah kenapa kali ini rasa sakitnya makin parah.

Sakit kepala ini aku dapatkan karena laki-laki itu, Rudi Rahardika. Laki-laki yang berani berselingkuh dengan sahabatku sendiri. Masalahnya adalah, perasaanku pasti akan lebih membaik andaikan saja aku bisa menangis seperti gadis-gadis pada umumnya ketika mereka patah hati. Nyatanya aku tidak bisa menangis. Sebagai gantinya aku harus menanggung rasa sakit kepala ini.

Entah ku anggap ini sebagai kutukan atau karunia.

Tok

Tok

Tok

Aku menengadahkan kepalaku −dagu masih menempel di meja− dan melihat sosok laki-laki muda dengan setelan jas kantoran. Ia rupanya mengetuk mejaku.

“Apa?” Tanyaku ketus.

Tetap dengan wajah ramah, “Boleh aku duduk disini?”

Aku melihat cafe mungil itu. Lalu aku memberi isyarat mengizinkannya. Dia mengucapkan terima kasih, dan ada lesung pipi ketika ia tersenyum. Membuatnya terlihat manis. Secara tidak sadar pun otot wajahku ikut menyunggingkan senyuman.

Ia mengeluarkan laptop dan setumpuk kertas yang hampir memenuhi meja. Cappuccino-ku yang hampir dingin harus ku ungsikan agar tidak menggangu pekerjaan laki-laki di depanku.

Aneh ya aku menggunakan kata “mengganggu”, padahal dia yang jelas menumpang meja denganku.

“Kau tidak melanjutkan membaca novel itu.”

Masih di balik laptop dan dan ketak ketik suara jemarinya menandakan ia masih sibuk dengan pekerjaannya.

“Kepalaku masih sakit.”

Dia berhenti dan mengamati wajahku. Aku bisa merasakan wajahku memanas.

“Aku punya aspirin.” Ia merogoh sakunya dan mengulurkannya kepadaku.

Aku terima. Kali ini aku harus mengalah pada rasa sakit dan meminum obat.

“Terima kasih.”

Kesunyian menjadi benteng diantara kami. Aku melanjutkan membaca novelku, dan ia tetap melanjutkan pekerjaan kantornya. Sampai akhirnya ia menyusun semua kertas dan menyusunnya menjadi satu. Di masukannya kedalam tas beserta laptopnya.

“Kau masih lama disini?” Ia bertanya padaku.

“Mungkin.” Jawabku tidak pasti.

Ia memandangiku gelisah. Seperti ada yang ingin ia ucapkan tapi tidak terucap.

“Ada apa?” Pancingku

“Kalau kau tidak keberatan, bisakah aku bertemu denganmu  lagi?” Ia melanjutkan, “Disini, pada jam yang sama?”

Tanpa pikir panjang, aku menjawab oke. Dan entah hanya perasaanku saja, ia keluar dari cafe dengan wajah cerah.

***

Sepulang kuliah aku langsung mampir ke cafe itu lagi. Bukan untuk bertemu dengan pria kemarin. Ini sudah menjadi kebiasaanku untuk menghabiskan waktu sore hariku yang beharga dengan membaca novel yang baru aku beli. Aku ingin segera menuntaskan cerita tentang seorang wanita yang menunggu kekasihnya di stasiun kereta api.

Aku menghampiri mejaku dan ku lihat ia telah tiba. Bahkan lebih cepat daripada aku.

“Ku pikir kau tidak serius akan datang lagi.” Ucapku

Ia tersenyum. Lagi-lagi lesung pipinya sungguh menawan.

“Aku bawa ini....”

Ia menyerahkan kantong kertas kepadaku. Aku membuka dan mengamati novel yang masih disampul plastik.

“Aku harap kau suka. Karena novel itu best seller di bulan ini.”

Aku tertawa. Tertawa terbahak-bahak hingga pengunjung cafe melihat ke arahku.

Ia menjadi gelisah.

“Maaf. Aku rasa tidak ada yang lucu.” Ucapnya agak tersinggung, aku menghentikan tawaku dan masih tetap memadangnya.

“Mungkin kau pikir tidak lucu, tapi menurutku sangat lucu.” Aku melanjutkan ketika melihat ekspresinya yang bingung, “Tidak ku sangka kau akan memberikan aku novel.”

Rupanya ia salah menanggapi ucapanku,

“Maaf kalau menurutmu memberi hadiah novel itu adalah lolucon bagimu.”

Ia mengambil novel ditanganku dan memasukan kembali kedalam kantong kertas. Lalu ia meninggalkan beberapa lembar uang di meja dan pergi.

Ia marah.

Bukan maksudku. Tidak ada maksud aku menghina pemberiannya. Tapi ku biarkan saja, toh bukan urusanku.

Pelayan yang melihat kejadian barusan menghampiriku.

“Bukan bermaksud ikut campur. Dia sudah menunggumu selama dua jam disini.”

Dua jam hanya untuk menyerahkan novel?

Mustahil bukan. Memangnya aku seperti mahasiswi kekurangan uang yang tidak dapat membeli novel baru apa.

Aku mencoba tidak memikirkannya. Tapi semakin tidak ingin aku pikirkan, aku malah tidak konsentrasi membaca novel di tanganku. Pikiranku terus melayang pada wajahnya yang kecewa dan tersinggung itu.

Aku menanyai pelayan yang tadi menghampirku, menanyakan dimana bisa aku menemuinya. Ia memberiku alamat dan aku segera pergi meninggalkan cafe itu.

***

“Kau disini rupanya.” Aku menyapa dirinya yang duduk sendirian di warung makan pinggir jalan.

Ia mengacuhkanku.

“Boleh aku minta novelku kembali?”

Ia berhenti mengunyah dan matanya yang coklat menatap tajam aku.

“Kalau hanya ingin membuatku malu lagi. Kau salah!”

“Aku minta maaf. Aku salah. Tapi kau harus tau alasannya kenapa aku tertawa.”

“Kenapa?”

“Karena novel yang kau berikan itu adalah sequel dari novel yang sedang aku baca sekarang.”

“Aku tahu.”

“Kau tahu?” Aku heran

“Tentu saja aku tahu. Karena aku berharap gadis yang menunggu di stasiun kereta api itu mau melupakan kekasihnya yang tidak akan datang dan menerima cinta pria yang selama ini mencintainya.”

Aku tertegun mendengarnya.

“Kita mulai dari awal perkenalan kita. Aku Dara.”

“Jona. Jona Saputra.”

“Jadi bisa kembalikan novelku?”

“Tentu. Kalau kau mau menemaniku disini malam ini.”

Aku tersenyum, ia pun tersenyum. Rasanya ending dari kisahku akan segera aku temukan.

***
 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

[SINOPSIS] Spring In London - Ilana Tan

Judul : Spring In London Pengarang : Ilana Tan Penerbit : Gramedia Pustaka Utama Jumlah Halaman : 238 halaman  Cetakan : kesepuluh Agustus 2011 Naomi menelan ludah dengan susah payah. Air mata mulai membayang dimatanya.  “Sekarang kau tidak akan bisa lagi memandang ku tanpa memikirkan apa yang pernah terjadi antara aku dan kakakmu.” “Tidak ... itu tidak benar.” “Dan aku tidak bisa memandangmu tanpa teringat pada kakakmu dan apa yang pernah dilakukannya padaku.” Kata-kata yang diucapkan dengan tajam dan jelas itu menghujam jantung Danny. Dadanya terasa sakit dan sekujur tubuhnya lumpuh. Ia menantap Naomi tanpa berkedip, tanpa bernapas. Ia membuka mulut, namun tidak ada suara yang keluar. Naomi Ishida adalah gadis keturunan Indonesia – Jepang, dan dia merupakan saudara kembar Keiko Ishida (baca Winter in Tokyo). Berbeda dengan Keiko, Naomi memilih karir sebagai seorang model dan menetap di London. Karirnya sebagai model sangat sukses sehingga setiap pemotret

[SINOPSIS] Detektif Conan 70

Dapat juga komik kesukaanku ini di toko buku, padahal jatah terbitnya itu tanggal 30 november kemarin, tapi di toko buku Banda Aceh baru adanya sekarang. Tapi peduli amat lah, amat aja gk begitu peduli, nah Lho ...!!?? Tapi whatever lah, yang pasti komik ini udah ada ditangan, jadi kenapa harus pusing (^0^). Dan seperti biasa aku juga mau ngeringkas sedikit isi komik  Detektif Conan 70, check it out >>>

Book Review: Damn! It's You - Pelangi Tri Saki

Semua Orang Punya Masalah, Tapi Tidak Semua Orang Mampu Menyelesaikannya Judul Buku: Damn! It’s You! Penulis: Pelangi Tri Saki Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama Cetakan ke-1: Januari 2017 Tebal: 232 halaman ISBN: 978-602-03-3661-9 Tidak dipungkiri, banyak sekali penulis-penulis muda yang terlahir dari akun kepenulisan, wattpad. Salah satunya adalah karya pertama Pelangi Tri Saki diterbitkan Gramedia dengan judul Damn! It’s You yang merupakan seri kedua ‘You’. Tulisan yang khas remaja dan banyak menyelipkan percakapan lucu khas anak-anak SMA membuat karyanya banyak dikenal. Setelah sukses dengan seri pertama Hey! You! Diharapkan novel kedua ini akan mengikuti jejak terdahulunya. Dengan mengambil kehidupan SMA, Saki mengajak pembaca untuk mengenal pasangan lucu yang kelakukannya berhasil mengocok perut pembaca. Nigi, seorang cewek yang terkesan tomboy dan cerewet tidak sengaja bertemu dengan Saba, cowok dengan muka datar tanpa ekspresi sama sekali. Diperpa